Selasa, 30 November 2010

UAS FILSAFAT BUDAYA STFT


1. Perbedaan antara Antropologi Budaya dan Filsafat kebudayaan!
- Objek material dari AB dan FB          : manusia dan budaya
- Antropologi Budaya : Antropologi budaya merupakan studi antropologi yang bidang studinya mengambil kebudayaan sebagai objeknya. Aspek-aspeknya antara lain meliputi masalah sejarah asal, perkembangan, dan penyebaran aneka warna bahasa yang diucapkan manusia di seluruh dunia; masalah perkembangan, penyebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan di seluruh dunia; dan masalah azas-azas dari kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang tersebar di seluruh muka bumi. Antropologi sampai pada hakikat kebudayaan melalui metode perbandingan. Dengan memperhatikan berbagai data yang diperoleh lewat data di lapangan, mereka mencoba mendefinisikan tentang kebudayaan, yang dapat melewati batas ruang dan waktu, yang mampu mengungkapkan hakikat kebudayaan manusia (objek formal). Antropologi budaya sifatnya ideografis, yakni melukiskan, menganalisis, lalu membuat kesimpulan berdasarkan data. Antropologi budaya menggunakan metode induktif dalam merumuskan tentang kebudayaan, yakni mengumpulkan fakta-fakta yang ada dalam suatu kebudayaan, mengambil dari fakta-fakta tersebut kesesuaian (keseragaman) dan juga perbedaan dana lalu kemudia menetapkan hukum empiris sebelum menentukan secara induktif definisi kebudayaan.
- Sementara itu, Filsafat kebudayaan mengkaji wilayah instrospeksi, yakni mengkaji wilauah kebudayaan sedalam-dalamnya. Oleh sebab itu, sifatnya kritis-etis yakni menentukan kaidah-kaidah, pedoman, dan juga melakukan pemilahan, mana yang merupakan kebudayaan otentik dan mana yang tidak. Selain itu, filsafat kebudayaan juga menguji definisi kebudayaan sampai pada taraf metafisis, yaitu menurut norma-norma transenden (objek formal; cara pendekatannya).

2. Bagan Kebudayaan (Strategi kebudayaan Van Peursen)
Prof. Dr. C. A. Van Peursen mencetuskan Bagan Tiga Tahap Kebudayaan. Adapun ketiga tahap dalam bagan ini ialah: tahap mitis, tahap ontologis dan tahap fungsionil.
Tahap mitis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif. Dimana dalam kebudayaan modern pun sikap mitis ini masih terasa.
Tahap ontologis adalah sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Kita akan melihat, bahwa ontologi itu berkembang dalam lingkungan-lingkungan kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
Tahap fungsionil ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap obyek penyelidikannya (sikap ontologis). Bukan, ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya.
Tahap-tahap tersebut saling memperlihatkan sesuatu yang terkandung dalam setiap kebudayaan, oleh karena itu tidak dapat dipandang secara historis semata-mata karena tahap ini muncul sesudah tahap yang lebih dahulu. Karena yang akan diusahakan disini bukan menyusun suatu sejarah kebudayaan, melainkan membuka jalan sehingga kita mampu untuk menilai perkembangan kebudayaan kita sendiri sacara kritis.
Dalam tahap mitis manusia belum mempunyai kesadaran akan identitasnya sendiri, kekuasaan para dewa yang meresapi manusia dan benda-benda, nilai-nilai yang terjalin dengan hubungan keluarga dan suku, kurangnya kesadaran historis—semuanya memperlihatkan pola dasar dalam pikiran mitis yaitu bahwa manusia dan dunia saling Meresapi.
Dalam tahap mitis ini dapat dilihat bahwa manusia berusaha untuk mentransendensensikan hidupnya melalui daya-daya kekuatan alam yang mereka percayai berasal dari dewa-dewa dan memiliki suatu kekuatan gaib, misalnya dalam suku tertentu di wilayah Afrika sering diadakan upacara-upacara mitologis yang diadakan untuk meminta hujan kepada para dewa-dewa, setelah upacara dilaksanakan tidak lama kemudian hujan pun turun, seakan para dewa menyanggupi permintaan dalam upacara yang diadakan suku tersebut, lambat laun masyarakat mempercayai bahwa upacara tersebutlah yang sebenarnya dapat menurunkan hujan bukanlah kekuasaan para dewa.
 Efek negatif yang ada pada tahap mitis yaitu magis, dimana magis itu sendiri adalah suatu usaha dengan alat dan cara tertentu (misalnya mantera-mantera atau alat-alat khusus yang diwariskan secara turun-temurun) untuk memperalat kontak antara masa kini dengan jaman bahari yang penuh mitos-mitos guna menguasai sesama manusia dan daya kekuatan alam.Magis mengakibatkan hilangnya kepercayaan terhadap kekuasaan para dewa atau kekuasaan daya tertinggi yang diyakini oleh manusia, magis mengimanensi mitis. Jika magis berhasil menonjolkan efeknya dalam suatu kebudayaan, maka semua yang telah dilakukan untuk mentransendensi kehidupan, segala tradisi-tradisi, upacara-upacara, nilai-nilai direndahkan dan hanya dianggap sebagai pelengkap karena kebiasaan saja, tahap mitis kehilangan kekuatannya, para dewa tidak lagi memiliki peran dalam upacara sehingga manusia menjadi sombong dan angkuh akan kepandaiannya, terutama golongan yang memiliki peran yang sangat penting dalam upacara, misalnya imam atau dukun yang mengetuai upacara minta hujan tersebut, dia dianggap sebagai orang yang paling menguasai tata cara dan keberlangsungan upacara, tanpa kehadirannya upacara seakan menjadi satu hal yang mustahil. Hal ini mengakibatkan pengagung-agungan para dukun atau imam upacara tersebut, seolah-olah mereka dianggap sebagai pengganti atau penjelmaan para dewa. Kekuasaan yang dimiliki para dukun dalam sebuah suku tertentu pada akhirnya hingga turun temurun memiliki kasta tersendiri yang tingkatnya dianggap lebih tinggi daripada orang-orang biasa, kekuasaan tersebut dapat menjadi suatu kediktatoran melebihi kekuasaan yang dimiliki oleh kepala suku. Dalam jaman modern daya-daya produksilah yang mengembangkan kesejahteraan dan kemungkinan-kemungkinan hidup. Dan dalam masyarakat kita pun yang ditandai oleh nafsu konsumsi kelihatan sikap-sikap yang serupa, yang mau main dominasi: mendobrak rintangan-rintangan bagi pemasaran produk-produknya, memaksa orang lain untuk membeli produk-produk tertentu, memperalat sesama manusia.
Persamaan timbulnya efek magis dalam tahap mitis antara jaman modern dan jaman primitif misalnya dapat digambarkan melalui efek negatif kediktatoran antara kekuasaan dukun di Afrika pada jaman dulu dan kekuasaan borjuis/kapitalis modal pada jaman modern: Dukun di Afrika pada jaman primitif:
1.Menjalankan suatu rezim kediktatoran terhadap sukunya,
2.Warga sukunya seolah-olah terkurung oleh ketakutan demonis,
3.Meskipun sebetulnya yang menjalankan kekuasaan bukan satu orang individu (kepala suku, dll) tetapi dukun seolah-olah merupakan penjelmaan dari kekuasaan suku.

Kaum borjuis/kapitalis modal pada jaman modern:
1.Menjalankan suatu rezim kediktatoran terhadap masyarakat melalui produk-produknya yang meski kita butuhkan atau tidak tetap menguasai kehidupan masyarakat, 2.Masyarakat seolah-olah membutuhkan produk-produk tersebut hingga akhirnya menjadi masyarakat konsumsi,
3.Masyarakat dikuasai dan dipimpin oleh pemerintah tetapi kaum borjuis sebagai pemilik modal seolah-olah merupakan penjelmaan dari kekuasaan dan kepemimpinan pemerintah, atau dengan kata lain modal/uang yang membeli kekuasaan.
Gambaran tersebut memberi kita informasi bahwa munculnya efek negatif tahap mitis berupa magis menimbulkan terkurungnya kembali manusia pada suatu fakta-fakta kehidupan, sehingga magis mengembalikan manusia ke dalam lingkaran imanensi.
Selain digambarkan melalui kekuasaan kaum kapitalis, efek magis di jaman modern juga timbul dalam berbagai bidang. Beberapa efek magis yang baru-baru ini muncul seperti misalnya batu bertuah milik Ponari atau pohon menangis yang terdapat di jawa barat, konon dipercaya berkhasiat untuk menyembuhkan segala jenis penyakit, sekali lagi manusia kembali terjebak dalam lingkaran imanensi, dikarenakan masyarakat mempercayai bahwa kesembuhan diperolah langsung dari batu bertuah tersebut/Ponari yang mencelupkan batu ke dalam air (dipercaya juga bahwa jika bukan Ponari yang mencelupkan batu, maka airnya tidak lagi berkhasiat), atau langsung dari pohon keramat tersebut, manusia mulai melupakan keberadaan Sang Pemberi kesembuhan, manusia ter-imanensi, dan tahap mitis mulai mencari-cari suatu pembebasan akan efek negatif ini.
Pembebasan akan magis muncul dalam tahap kebudayaan yang kedua yaitu tahap kebudayaan Ontologis, dimana dalam tahap ini manusia mulai menanyakan hakekat sesuatu, hakekat dirinya, hakekat benda-benda yang ada disekitarnya, hakekat alam atau dunia, selain itu dengan kemampuan transendensi manusia mulai mencari daya-daya yang lebih kuat dan sempurna dibandingkan segala sesuatu yang pernah dilihatnya, dan juga mulai menanyakan apakah terdapat kekusaan yang Maha Tinggi yang berada di atasnya. Lewat tahap ini manusia membuat peta mengenai segala sesuatu yang mengatasi manusia. Manusia mulai mempercayai bahwa diluar segala sesuatu yang ada pada jagad raya, dunia dan segala isinya terdapat Yang serba transenden dan Dialah yang memberi hakekat pada segala sesuatu. Karena manusia memberikan hakekat dan mendefinisikan segala sesuatu, maka muncullah pembatasan-pembatasan terhadap segala hal, tercipta norma-norma, hukum dan tata tertib yang harus dipatuhi oleh masyarakat, manusia memberikan nilai-nilai kepada segala sesuatu. Dikarenakan manusia yang telah meninggalkan dunia mitis ingin melihat dengan jelas jalan mana yang ditempuhnya. Itulah sebabnya ia menyusun hukum-hukum bagi kehidupan dalam masyarakat, ia menyusun sebuah tata negara, mengajarkan moral; pembaharuan religius dan politis memperjuangkan nilai-nilai moril. Manusia mendefinisikan nilai-nilai.
Efek negatif yang ada pada tahap ini disebut dengan Substansialisme, yaitu sesuatu yang dapat berdiri sendiri, yang mempunyai landasan sendiri dan tidak perlu bersandar pada sesuatu di luarnya. Sehingga segala sesuatu yang pada mulanya tumbuh bersama kini mulai terpisah-pisah dan terputus, muncul adanya kelompok-kolompok di masyarakat, kehidupan manusia ditandai dengan adanya sekat-sekat. Substansialisme berarti segala sesuatu yang tidak bernilai, tidak ada hakekatnya harus dimusnahkan karena tidak sesuai dengan pencapaian yang ingin dituju oleh ontologis.
Substansialisme pada akhirnya dibebaskan oleh tahap yang ketiga yaitu tahap fungsionil, tahap kebudayaan yang sangat mencirikan kebudayaan modern.
Dalam pemikiran fungsionil manusia tidak lagi mencari hakekat ataupun nilai-nilai atas segala sesuatu melainkan mengutamakan arti atau fungsi yang melandasi sesuatu. Fungsionil menciptakan suatu globalisasi dalam dunia manusia, tidak ada lagi sekat ataupun pemisah antara yang satu dengan yang lain selama itu bertujuan untuk mencapai fungsionalitas yang sama. Tahap fungsionil memahami arti dan makna sesuatu berarti, bahwa arti tersebut dapat dinyatakan dalam praktek. Ini menjelaskan bahwa sesuatu berarti jika dapat diwujudkan secara real dalam suatu praktek, atau dengan kata lain segala sesuatu berarti jika memiliki fungsi atau berguna bagi kehidupan manusia.
Efek negatif yang dimiliki oleh tahap fungsionil adalah operasionalisme, yaitu suatu usaha untuk memutlakkan cara-cara berbuat sesuatu (operasi). Operasionalisme menjadikan segala sesuatunya terencana dan terukur secara pasti, hal tersebut demikian melanda kehidupan manusia sehingga menjadikan manusia seperti mesin atau robot yang dikendalikan oleh sistem. Secara gamblang, operasionalisme menuntun manusia ke dalam suatu kehidupan yang egois. Untuk mempermudah dalam menggambarkan pemikiran ontologis dan fungsional, mari kita ambil contoh kehidupan manusia sehari-hari: seorang turis perempuan yang berasal dari Eropa sedang berlibur musim panas ke Yogya, Indonesia. Minimnya kehangatan sinar matahari yang ada di Eropa menimbulkan keinginan turis tersebut untuk mandi matahari di Indonesia, maka sesampainya di Yogya dia menggunakan busana yang tidak seharusnya dipakai untuk berjalan-jalan (misalnya baju renang), karena hal tersebut berfungsi untuk memudahkan sinar matahari menjangkau kulitnya. Pengagungan fungsi atas segala sesuatu menimbulkan operasionalisme, yaitu sikap sistematis, praktis dan menilai keefektifan sesuatu tanpa menyadari adanya jiwa atau ruh yang mendasari segala sesuatu, manusia menjadi egois dan memperinci segala sesuatu untuk dijadikan rumus-rumus, mengukur segala sesuatu dari sudut apakah hal tersebut berfungsi atau tidak. Sehingga mulai muncul anggapan bahwa manusia di belahan bumi ini sama dengan manusia di belahan bumi yang lain, permintaan dan keinginan manusia disini juga sama dengan yang disana, efek negatif dari globalisasi. Pada akhirnya manusia tidak lagi dianggap sebagai individu tetapi sebagai kelompok atau geng tertentu. Sekali lagi manusia terkurung dalam imanensi, terkurung dalam operasi-operasi saja. Sedikit demi sedikit hilanglah sifat manusiawi yang seharusnya dimiliki oleh manusia.






3. Manusia dan Kebudayaan (Ernst Cassirer)
Pendekatan ini pertama kali diperkenalkan oleh  Ernst Cassirer sebagaimana termaktub didalam bukunya yang  cukup monumental, yakni “An Essay on Man”. Pendekatan simbolis ini pada dasarnya juga bersandar pada perspektif biologis. Cassirer sendiri sebagaimana diungkapkan didalam bukunya tersebut mengatakan sangat terpengaruh oleh teori biologis Von Uexkull, seorang biolog Jerman, yang berpandangan bahwa pada dasarnya organisme biologis manapun tidak dapat dilepaskan ekosistem yang melingkupinya.  Ekosistem  ini sangat bersifat khusus dan tepat bagi organisme yang bersangkutan. Setiap organisme mempunyai pengalamannya sendiri dan karena itu memiliki dunianya sendiri.
Gejala-gejala  yang  kita lihat dalam spesies biologis tertentu tidak dapat diterapkan kepada spesies-spesies lainnya. Pengalaman-pengalaman –dan karena itu juga realitas- dari dua organisme yang berlainan tidak dapat dibanding-bandingkan satu sama lain. Dengan kata lain antara  struktur biologis suatu organisme dengan lingkungan yang dihadapinya sangatlah sesuai dan tepat.
Berangkat  dari perspektif biologis gaya Von  Uexkull inilah Ernst Cassirer meneliti pola kehidupan yang  secara khas manusiawi. Menurut Cassirer, dunia manusiawi meskipun mengikuti hukum-hukum biologis sebagaimana semua kehidupan organisme  lainnya. Namun ia memiliki karakteristik  baru yang  menandai  ciri  khas  manusia. Lingkaran fungsional manusia  tidak hanya berkembang secara kuantitatif,  tetapi juga  mengalami perubahan-perubahan  kualitatif. Manusia telah menemukan cara baru untuk menyesuaikan diri  dengan lingkungannya.  Di antara sistem reseptor dan sistem  efektor yang  terdapat  pada semua  spesies  binatang,  pada manusia terdapat mata rantai yang mungkin dapat kita sebut sebagai sistem simbolis.
Dengan pencapaian baru ini, maka kehidupan manusia segera mengalami perubahan yang sangat fundamental sekali. Manusia benar-benar hidup dalam dimensi realitas yang baru. Manusia tidak lagi hanya sekedar  merespon  lingkungannya  secara  instingtual  dan langsung,  tetapi secara intelektif mampu mengendalikan refleks biologis menjadi respons-respons interpretatif dan bahkan manipulatif. Dengan cara ini manusia tidak semata-mata hidup dalam dunia fisik semata-mata, tetapi ia  hidup juga dalam suatu dunia simbolis.
Pemikiran  simbolis dan tingkah laku simbolis merupakan ciri khas yang betul-betul khas  manusiawi dan  seluruh kemajuan  kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu. Dari sinilah manusia menyusun realitas kebudayaannya yang secara umum merupakan  hasil dari proses simbolisasi dalam  hidup  dan kehidupannya. Oleh karenanya apabila kita ingin mengetahui realitas  terdalam dari hidup dan kehidupan manusia hendaknya kita telurusi dari kemampuan simbolisnya ini. Dari dasar pandangan ini Ernst Cassirer kemudian merumuskan definisi baru  terhadap hakekat manusia yakni, Animal Symbolicum (hewan yang bersimbol). Menurutnya, definisinya  tersebut bukan bermaksud untuk menggantikan definisi  yang  telah  klasik, yakni animal  rationale (hewan  yang  berakal).
Tetapi  dengan definisi tersebut ia berusaha untuk mengoreksi dan memperluas  dimensi pengertian yang  dikandungnya. Rasionalitas memang sifat yang melekat pada seluruh aktifitas manusia, tetapi definisi ini banyak menyimpan kesulitan-kesulitan tersendiri terutama dalam kaitannya dengan fakta-fakta kebudayaan manusia. Fakta-fakta kehidupan manusia  manusia terutama sekali kebudayaannya tidaklah semata-mata bersifat  rasional, tetapi kadangkala bersifat irrasional  dan emosional.
Dewasa ini penggunaan pendekatan simbolis untuk membahas realitas manusia telah banyak  dilakukan  dalam berbagai  cabang keilmuan, baik ilmiah, filsafat maupun theologi. Dalam bidang khusus kefilsafatan, mencari realitas dasar manusia tidaklah sederhana, mengingat sudut pandang yang hendak diberikannya harus bersifat mendalam, radiks  dan sistematis. Melalui prosedur analisis yang mendalam dan logis inilah filsafat hendak mengetahui realitas dasar manusia yang benar-benar substansial dari unsur-unsur  yang hanya bersifat aksidental.
Dengan  demikian diperlukan suatu sistem pendekatan yang mampu mengabstraksikan  unsur-unsur  yang bersifat  substansial  dari unsur-unsur yang aksidental. Penggunaan pendekatan simbolis pada akhirnya  banyak dipilih oleh para pemikir, karena perbuatan dan tingkah laku  simbolis manusia merupakan fenomena yang bersifat universal  dan khas pada diri manusia. Adapun  aspek  yang paling umum ditinjau dari prilaku simbolis manusia  adalah perbuatan  berbicara atau bahasa. Aspek ini dipilih  oleh para  pemikir, karena memuat banyak kemudahan dan  manfaat yang dapat diperoleh dari kompleksitasnya.
Pertama, kemampuan berbicara atau berbahasa adalah gejala yang sudah dikenal dengan baik dan jelas, sehingga  secara relatif mudah dipelajari oleh setiap orang  baik pada dirinya sendiri maupun pada orang-orang lain. Karena kemampuan berbicara dan berbahasa merupakan ciri khas dan mengisi eksistensi manusia, maka aspek ini  menjadi  tema yang paling banyak dipilih dan disukai oleh para pemikiran kontemporer.
Santo  Gregorius dari Nizza  (abad  keempat) di dalam bukunya tentang penciptaan manusia, ia menjelaskan bahwa oleh karena mansusia bisa berbicara dengan  lidahnya serta mengisyaratkan dengan tangannya, maka  ia  melebihi binatang-binatang. Tangan, menurutnya, seperti juga kemampuan berbicara pada manusia merupakan lambang serta alat dari roh, alat yang memungkinkannya untuk mengukur segala benda dan mengisya-ratkan segala realitas. Descartes di dalam Discours de la methode, juga menyinggung  kemampuan berbicara  manusia ,sedemikian Marleau-Ponty di dalam buku-bukunya- Phenomenologie de la Perception, Paul Ricour di dalam La Symbolique, Sigmund Freud dan lain sebagainya. Ketiga, kemampuan berbicara atau berbahasa  menggambarkan keseluruhan manusia atau manusia secara menyeluruh. Andre Marc, menyatakan didalam bukunya Psychology Reflexive bahwa keuntungan yang dapat diperoleh dengan memulai suatu filsafat manusia melalui suatu refleksi terhadap kemampuan bicara.
Selain gejala mampu berbicara itu mudah dikonstatir dan bahwa hal itu memang memberikan corak khas  terhadap  ”ada”-nya manusia, keadaan itu  memperbolehkan  kita untuk mengerti manusia dalam “kesatuannya” yang  dinamis dan sekaligus dalam kompleksitasnya sebagai suatu kesatuan yang  hidup, terbawa kearah dunia dan  berhubungan  dengan sesamanya
Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dengan menggunakan pendekatan simbolis dalam memahami  realitas  dasar dari  wujud manusia ialah karena perbuatan berbicara atau berbahasa mengisyaratkan (meng-asumsikan)  beberapa  hal yang  sangat fundamental dalam struktur hakiki  manusia, yakni :
Pertama, dengan berbicara atau berbahasa, maka mengisyaratkan bahwa  manusia bersifat sadar dan bebas. Tentu saja untuk kepentingan bahasan tersebut hendaklah diabaikan dulu bahasa atau perbuatan meng-isyaratkan yang bersifat tidak sadar, afektif maupun fiksasi psikologis. Yang dibicarakan dalam kaitan ini adalah perbuatan berbicara atau berbahasa yang sadar, yakni bahasa yang digunakan untuk ekspresi sesuatu secara “dipikirkan”
Kedua, dengan  berbicara atau  berbahasa  mengisyaratkan bahwa makhluk yang berbicara dan mengisyaratkan harus memiliki sebuah kesatuan substansial dibawah banyaknya perbuatan yang dilakukannya. Asumsi ini berangkat dari kenyataan bahwa perbuatan berbicara atau berbahasa  melibatkan perbuatan yang bersifat banyak, maka perlulah pada waktu ia melakukan perbuatan-perbuatan itu, ia tetap tinggal secara substansial; ia identik dengan dirinya. Sebab jika tidak ia tidak akan dapat melanjutkan suatu percakapan yang paling kecil pun, atau mungkin ia tidak akan mampu menyelesaikan sebuah kalimat yang paling sederhana sekalipun
Ketiga, dengan  berbicara atau  berbahasa  mengisyaratkan bahwa ia memiliki eksistensi wujud yang bersifat  eksterioritas .  Hal ini terlihat dari kemampuan dirinya yang sanggup mengarahkan dirinya secara terbuka terhadap dunia dan kehadiran pada orang-orang lain. Berbicara menunjuk-kan orang hadir dalam dunia dan tampil ditengah mereka yang mendiaminya. Orang selalu berbicara tentang sesuatu kepada seseorang. Orang selalu mengucapkan dirinya  dalam  suatu alam realitas inderawi, disitu semestinya terdapat  mereka yang berbicara dan mereka yang menulis, mereka yang menjadi lawan berbicara dan mereka yang membaca.
Keempat, dengan  berbicara atau  berbahasa  mengisyaratkan bahwa ia memiliki interioritas (ruang dalam jiwa). Hal ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk menerima dan memiliki kreativitas. Apa yang dikemukakannya tentang dunia, telah lebih dulu, dipikirkannya dan terkandung  dalam dirinya sendiri. Dengan cara ini ia bisa meninjau kembali apa yang telah dikatakan atau ditulisnya untuk memperjelas dan membetulkannya. Tentu saja hal ini tidak dapat dilakukan  kecuali  melalui cahaya suatu pikiran  yang  secara bagaimanapun, mendahului pengeks-presiannya.
Kelima dengan  berbicara atau  berbahasa  mengisyaratkan bahwa ia merupakan suatu makhluk yang hidup. Dengan berbahasa manusia menempatkan diri ke dalam dunia, menyesuaikan diri dengannya, berpar-tisipasi dengan eksistensinya, memanfaatkan kemungkinan-kemung-kinannya dan menikmati kekayaannya. Pendek kata, dengan berbicara manusia  bersikap sebagai sesuatu yang hidup.
Keenam, dengan  berbicara atau  berbahasa  mengisyaratkan bahwa ia adalah makhluk yang mampu mengetahui dan  mempunyai afektivitas. Asumsi ini berangkat dari realitas bahwa manusia selalu berbicara untuk mengemukakan apa yang telah diketahuinya tentang  dunia, atau untuk menjelaskan apa yang telah dapat dimengertinya dari realitas, ataupun paling tidak untuk memberikan informasi-informasi atau untuk mengajukan pendapat-pendapat. Selain itu, asumsi ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memiliki afektivitas. Setiap orang hampir hanya membicarakan apa yang menarik baginya, dan hanya berbicara panjang lebar hal-hal yang dianggap tidak penting atau bukan pada tempatnya. Orang tidak akan berbicara lama dengan orang lain yang nyata menunjukkan syak wasangka. Bahkan, merupakan suatu cara untuk mengemukakan rasa tidak senang atau rasa kurang menghargai, kalau seseorang menolak untuk mengadakan percakapan dengan orang lain.
Ketujuh, dengan perbuatan berbicara atau berbahasa  mengisyarat-kan bahwa ia adalah makhluk yang berdimensi rohani dan jasmani. Asumsi ini berangkat dari kenyataan bahwa jasmani yang bersifat inderawiah diperlengkapi dengan anggota  serta organ yang memungkinkannya mengubah materi untuk membuatnya signifikasi. Dan unsur rohanilah  yang membuat segala hal menjadi signifikasi. Jasmani yang hidup, mengeluarkan suara, melakukan gerakan isyarat  dan mengubah  wajah bumi. Suatu roh yang menjiwai  suara  dan memberi makna kepada gerakan. Sebuah jasmani dan  ruhani yang  hanya merupakan satu makhluk saja, bagaimana  sebuah tanda terdiri dari suatu unsur inderawi dan suatu signifikasi. Sebuah badan yang dijiwai dan dispiritualisasikan, sebuah roh yang dijelmakan dan disituasikan.

4. Budaya populer dan budaya massa!
Menurut Dennis McQuail (1994:31), kata massa berdasarkan sejarah mempunyai dua makna, yaitu positif dan negatif. Makna negatifnya adalah berkaitan dengan kerumunan (mob),atau orang banyak yang tidak teratur, bebal, tidak memiliki budaya, kecakapan dan rasionalitas. Makna positif, yaitu massa memiliki arti kekuatan dan solidaritas di kalangan kelas pekerja biasa saat mencapai tujuan kolektif.
Sehubungan dengan makna komunikasi terutama komunikasi massa, makna kata massa mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu dengan yang lainnya, maka masssa sama dengan suatu kumpulan orang banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas.
Blumer (1939) dalam McQuail (2002:41), mengemukakan ada empat komponen sosiologis yang mengandung arti massa, yaitu :
1. Anggota massa adalah orang-orang dari posisi kelas sosial yang berbeda, jenis pekerjaan yang berlainan , dengan latar belakang budaya yang bermacam-macam , serta tingkat kekayaan yang beraneka atau berasal dari segala lapisan kehidupan dan dari seluruh tingkatan sosial.
2. Massa terdiri dari individu-individu yang anonim.
3. Biasanya secara fisik anggota massa terpisah satu sama lainnya dan hanya terdapat sedikit interaksi atau penukaran pengalaman antar anggota-anggota massa dimaksud.
4. Keorganisasian dari suatu massa bersifat sangat longgar , dan tidak mampu untuk bertindak bersama atau secara kesatuan, seperti hanya suatu kerumunan (crowd).
Secara umum pengertian massa ditandai dengan :
a. Kurang memiliki kesadaran diri.
b. Kurang memiliki identitas diri
c. Tidak mampu bergerak secara serentak dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
d. Massa ditandai oleh komposisi yang selalu berubah dan berada dalam batas wilayah yang selalu berubah pula.
e. Masssa tidak bertindak dengan dirinya sendiri , tetapi dikooptasi untuk melakukan suatu tindakan.
f. Meski anggotanya heterogen , dan dari semua lapisan sosial, massa selalu bersikap sama dan berbuat sesuai dengan persepsi orang yang mengkooptasi mereka .
Konsep masssa kemudian mengandung pengertian masyarakat secara keseluruhan " masyarakat massa"( the mass society). Menurut McQuail (2002 :39), massa ditandai oleh (1) memiliki agregat yang besar;(2) tidak dapat dibedakan;(3) cenderung berpikir negatif; (4) sulit diperintah atau diorganisasi; dan (5) refleksi dari khalayak massa.

Media massa adalah institusi yang menghubungkan seluruh unsur masyarakat satu dengan lainnya dengan memulai produk media massa yang dihasilkan. Secara spesifik institusi media massa adalah (1) sebagai saluran produksi dan distribusi konten simbolis (2) sebagai institusi publik yang bekerja sesuai aturan yang ada;(3) keikutsertaan baik sebagai pengirim atau penerima adalah sukarela;(4) menggunakan standar profesional dan birokrasi; dan (5) media sebagai perpaduan antara kebebasan dan kekuasaan (McQuail, 2002:15)
Kehidupan masyarakat kota, pada umumnya, satu sama lain tidak saling mengenal dan interaksi-interaksi mereka didasari oleh kepentingan dan kebutuhan yang dilandasi pada hubungan sekunder, sehingga secara real media massa telah menjadi salah satu kebutuhan dalam berinteraksi di dalam masyarakat perkotaan satu dengan lainnya.
Penggunaan media massa berbeda dengan komunikasi antar pribadi. Media massa membutuhkan persyaratan tertentu dari pemakainya. Pertama adalah orang harus bisa membaca, sebelum mengkonsumsi surat kabar atau majalah. Kedua,orang harus memiliki pesawat radio atau televisi, bila akan mengikuti siarannya, atau punya uang untuk beli karcis bila akan menonton film. Ketiga, kebiasaan memanfaatkan media ( media habit). Untuk menjadi khalayak media massa, maka ketiganya perlu dimiliki atau dilakukan. Apabila tidak, maka mereka tidak bisa menjadi khalayak media massa atau masyarakat media.
Dalam penyampaian berbagai produk tayangan, media massa berupaya menyesuaikan dengan khalayaknya yang heterogen dan berbagai sosio-ekonomi, kultural, dan lainnya. Produk mediapun pada akhirnya dibentuk sedemikian rupa , sehingga mampu diterima oleh banyak orang . Di sisi lain , media juga sering kali menyajikan berita, film, dan informasi lain dari berbagai negara sebagai upaya media memberikan pilihan yang memuaskan bagi khalayak nya. Produk media baik yang berupa berita, program keluarga, kuis, film dan sebagainya , disebut sebagai upaya massa yaitu karya budaya.
Berdasarkan ciri yang demikian., maka seni hiburan ini banyak diproduksi media untuk menarik sebanyak mungkin khalayaknya.Hal ini tidak hanya dipengaruhi kebutuhan khalayak massa yang heterogen, juga adanya kepentingan komersial media yang kini masuk sebagai industri yang membutuhkan dana besar melalui iklannya . Budaya massa dibentuk disebabkan :
1. Tuntutan industri kepada pencipta untuk menghasilkan karya yang banyak dalam tempo singkat. Maka si pencipta untuk menghasilkan karya yang banyak dalam tampo singkat, tak sempat lagi berpikir, dan dengan secepatnya menyelesaikan karyanya. Mereka memiliki target produksi yang harus dicapai dalam waktu tertentu.
2. Karena massa budaya cenderung "latah" menyulap atau meniru segala sesuatu yang sedang naik daun atau laris, sehingga media berlomba untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Pada umumnya budaya massa dipengaruhi oleh budaya populer. Pemikiran tentang budaya populer menurut Ben Agger ( 1992;24) dapat dikelompokkan pada empat aliran (a) budaya dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari;( b) kebudayaan populer menghancurkan nilai budaya tradisional;(c) kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi Marx kapitalis; dan (d) kebudayaan populer merupakan budaya yang menetes dari atas.

Kebudayaan populer banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu , seperti pementasan mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model rumah, perawatan tubuh, dan semacamnya.
Budaya juga memiliki nilai yang membedakan satu budaya dengan budaya lainnya. Budaya yang memiliki nilai tinggi dibedakan dengan budaya yang memiliki nilai dibawahnya. Namun dalam budaya populer, `perangkat media massa` seperti pasar rakyat, film,buku,televisi, dan jurnalistik akan menuntun perkembangan budaya pada ` erosi nilai budaya`.


Budaya Populer
Lahir dari komunitas masyarakat tertentu. Budaya popular adalah budaya milik rakyat dan melekat pada rakyat. Karya-karya tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga disukai oleh masyarakat. Dengan kata lain, budaya popular adalah budaya yang diciptakan agar dapat dicerna oleh masyarakat luas. Dalam atau bagi masyarakat modern, budaya popular adalah budaya yang diciptakan oleh suatu komunitas masyarakat untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
3 gagasan pook budaya popular
1. Apa dan siapa yang menentukan budaya popular, darimana datangnya, apakah muncul dari kalangan bawah/atas?
2. pengaruh komersialisasi dan industrialisasi terhadap budaya popular, apakah budaya tersebut dapat menyumbang untk kemanusiaan atau hanya sekedar komersialisasi?
3. menyangkut peran ideologis popular, apakah indoktrinasi atau bukan? Untuk mempertahankan kelompok tertentu atau milik penguasa untuk mengontrol kelompok-kelompok yang lebih rendah?
Disimpulkan bahwa budaya popular adalah budaya yang hidup di kalngan masyarakat. Pencipta budaya popular adalah masyarakat tertentu dan juga penguasa. Oleh sebab itu, budaya popular memiliki cirri : inferior, mudah dicerna karena diciptakan oleh masyarakat luas, dan hidup dalam masyarakat saat ini.
 Budaya Masaa
Budaya popular yang melalui teknologi dan komersialisasi didistribusikan secara masal demi meraih keuntungan. Mis musik jazz.

NO
Budaya Popular
Budaya Masaa
1



2.
Masyarakat tradisional dengan ikatan-ikatan social, control-kontrol social/ikatan moral.

Memberi ruang pada daya kreativitas (keterogenisasi budaya)
Masyarakat massa, kumpulan massa

Menutup ruang daya kreativitas manusia

Manusia dibuat sebagai konsumen.
Pencipta budaya massa: pelaku2 bisnis. Massa bertindak sebagai konsumen shg menghilangkan proses kreatif.


5. Budaya massa di Indonesia!
Hal yang menarik untuk diteruskan adalah, bagaimana manifestasi dari budaya massa dalam keseharian masyarakat Indonesia ini. Diyakini bahwa budaya massa ini telah berkembang jauh dan pesat, menjangkau seluruh wilayah dan lapisan suku-suku bangsa yang mengalami persentukan dengan teknologi informasi dan pusat perputaran barang dan jasa.
Shopping Mall
Yasraf Amir Piliang mengutarakan shopping mall selaku sebuah manifestasi dari budaya massa yang bersifat ‘fantasi.’2 Dalam shopping mall, kegiatan belanja yang semata-mata transaksi jual beli mengalami perubahan. Dalam shopping mall kegiatan belanja berubah fungsi sebagai pengisi waktu senggang (leisure time). Ini dapat kita lihat pada berapa banyak setiap harinya orang-orang berkeliling shopping mall tanpa berbelanja apapun. Terkadang mereka Cuma berkeliling, berbincang, atau mengagumi barang-barang produk baru.
Shopping mall memuaskan rasa penasaran manusiawi akan sesuatu yang baru. Shopping mall terus meremajakan dirinya lewat pengenalan wahana-wahana toko baru, permainan kanak-kanak, lingkungan yang semakin nyaman (taman, AC, dan kebersihan). Jumlah shopping mall ini terus bertambah setiap tahunnya di Indonesia. Di Jakarta terdapat kurang lebih 60 mal yang tersebar di kota-kota madyanya seperti Mall of Indonesia, Tamini Square, Town Square, Mal Kelapa Gading, Kota Casablanca atau Grand Indonesia.
Di Sulawesi Selatan sekurangnya 6 mall telah beroperasi di sana seperti Mall Ratu Indah, Makassar Trade Center, Mall Panakukang, Pusat Grosir Butung, Pusat Souvenir Somba Opu, dan Global Trade Center. Bahkan di wilayah Nusa Tenggara Timur, sekurangnya 1 mall telah berdiri yaitu Mall Flobamora.
Pada satu sisi, berdirinya mall merupakan upaya dari para pemerintah daerah untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerahnya. Mall terdiri atas beragam diversivikasi usaha seperti bank, toko makanan, toko buku, toko mainan, taman bermain prabayar, bioskop, dan sejenisnya. Tenaga kerja yang direkrut pun cukup banyak, termasuk potensi-potensi yang dibawanya yaitu bergeliatnya kegiatan ekonomi di sekeliling mall seperti rumah kontrakan, kos, angkutan umum, dan sebagainya.
Namun, dari sisi budaya, mall menjadi agen dari massalisasi budaya. Produk-produk barang dan jasa yang ditawarkan setiap mall cenderung homogen. Bioskop, sebagai missal, adalah Twenty One yang menjadi milik dari satu perusahaan. Lalu, hampir di setiap mall department-department store relative homogeny seperti Naga, Matahari, Ramayana, Borobudur, dan sebagainya.
Department-department tersebut pun menawarkan produk-produk barang pabrikan. Jadi, pabrik menggunakan agen mereka (department store) untuk memasarkan produk mereka. Maka jadilah produk-produk mereka digunakan secara massal oleh masyarakat. Dari penghujung mall yang ada di Aceh hingga Papua, tawaran produk relative sama.
Kapitalisasi produk, bahkan manusia pun berlangsung di mall. Relatif sering terlihat di hampir setiap department store, manusia (khususnya perempuan) “dipajang” menjajakan produk pabrikan tertentu seperti kosmetik dan pakaian. Mereka berdiri layaknya mannequin berdiri statis dan bedanya sekadar mereka bisa tersenyum.
Selain shopping mall, kini berkembang fenomena “hypermall”, yang berbeda dengan shopping mall yang beraneka agen, lebih ditandai satu agen tunggal. Carrefour, Giant, Hypermart, dan sejenisnya kini pun telah berkembang di Indonesia. Barang yang mereka jual, kendati satu agen tunggal, sangat bervariasi dari bahan mentah makanan hingga barang elektronik canggih semisal televise flat dan laptop. Terkadang kendaraan roda dua dan empat pun dijajakan di sana. Konsumen begitu dimanjakan dengan sifat segala ada, nyaman, cepat, terklasifikasi, seperti disediakan oleh hypermall.
Fenomena hypermall ini mendukung teori penciptaan kebutuhan konsumen oleh produsen barang. Hypermall adalah agen, barang-barang yang dijualnya berasal dari beragam produsen. Namun, produsen tersebut biasanya tetap. Misalnya untuk odol, merk-merk seperti Pepsodent, Formula, Oral-B, Siwak-F, dan sejenisnya adalah pasti ditemukan di setiap hypermall.
Sebagai contoh, di Indonesia Carrefour tersebar di Jakarta (25 lokasi), Tangerang (5 lokasi), Bekasi (4 lokasi), Bandung (4 lokasi), Jawa – Bali (18 lokasi), Sumatera (2 lokasi), dan Sulawesi (3 lokasi). Jumlah ini merupakan jumlah yang cukup signifikan mengingat Carrefour termasuk debutan baru di kalangan “mall” di Indonesia. Group yang didirikan oleh keluarga Fournier and Defforey dari Perancis pada tahun 1959 ini kini berkembang pesat di seluruh penjuru dunia, dan CEO-nya kini dipegang oleh Lars Olofsson.

McDonald-ization
Fenomena restoran fast-food merupakan bentuk umum dari budaya massa ini. Perlu diingat, makanan adalah salah satu komponen fisik dari budaya. Restoran yang di Negara asalnya disebut sebagai “junk-food” (makanan sampah) ini, di Indonesia menemui sifat “high-class.” Hampir seluruh kalangan masyarakat (kaya, miskin, tua, muda) menemui pemenuhan kebutuhan sosial mereka di restoran fast-food McDonald ini. Termasuk ke dalamnya Kentucy Fried Chicken, Hoka-hoka Bento, Pizza Hut, dan sejenisnya.
Jika ditelusuri secara mendalam, penyebaran restoran-restoran fast-food ini di-stir oleh oleh satu perusahaan. Mereka menjalankan manipulasi public dengan menawarkan kelezatan, kecepatan, dan kenyamanan. McDonald adalah milik Ray Croc dan ia bangun pada tahun 1955. McDonald mengklaim memiliki 30.000 anjungan di seluruh dunia dan seharinya dikunjungi oleh 50.000.000 orang. Bidikan utamanya adalah penjualan produk makanan dan mereka memiliki sentra-sentra Negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan sibuk dalam keseharian mereka.
Homogenisasi budaya merupakan apa yang kemudian berkembang dari fenomena McDonald-ization ini. Hamburger, Coca Cola, Fanta, Walls Ice Cream, merupakan beberapa jenis makanan yang dijajakan di McDonald. Di 30.000 anjungan McDonald seluruh dunia, jenis-jenis makanan tersebut sama dijajakan dalam format dan rasa. Publik tidak dapat menentukan selera mereka tatkala memasuki MCDonald. Ini sama tatkala kita memasuki rumah makan Padang yang menyediakan ayam bakar, ayam goreng, ikan panggang, rendang, kikil, dan sejenisnya. Bedanya, McDonald bersifat sangat massal dengan dukungan strategi marketing dan dukungan financial yang agresif.



6. Manfaat belajar Filsafat kebudayan sebagai calon pemimpin!
- ingat definisi dari kebudayaan
- ingat kebudayaan local
- ingat iceberg of culture
- ingat globalisasi dan pengaruh2nya
- simpulkan, apa yang bisa kita lakukan dengan melihat fenomena ini dan setelah belajar filsafat budaya!






Senin, 29 November 2010

GEREJA SEBAGAI PERANTARA KESELAMATAN ALLAH: GEREJA MEMPERHATIKAN KAUM HOMOSEKSUALITAS



Pendahuluan
Dalam Lumen Gentium art 1. ditegaskan bahwa Gereja adalah tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. Karena itu, kehadiran Gereja menjadi sarana dan sekaligus medium keselamatan yang dianugerahkan Allah kepada manusia melalui Yesus Kristus dalam zaman dan tempat di mana Gereja mewujudkan diri. Keadaan zaman turut mendesak Gereja untuk menunaikan tugas untuk mewartakan karya keselamatan ini agar semua orang memperoleh kesatuan sepenuhnya dalam Kristus.[1] 
Homoseksualitas adalah salah satu persoalan yang mendesak dan sekaligus serius bagi Gereja dalam rangka reksa pastoral dunia zaman ini. Persoalan ini tidak sekedar menjadi sebuah permasalahan moral dogmatis tetapi juga erat hubungannya dengan karya keselamatan Kristus yang universal, yang mengatasi batas-batas suku, budaya, agama, jenis kelamin dsb. Gereja dalam tugas sebagai pewarta keselamatan ini hendaknya tidak jatuh dalam prasangka negatif atas perilaku homoseksual yang sepertinya menyimpang dari dogma/ajaran umum Gereja. Gereja hendaknya lebih mengutamakan reksa pastoral yang tepat dalam memperhatikan kaum homoseksual agar mereka juga dapat merasakan benih-benih keselamatan Allah dalam diri Yesus Kristus. Oleh sebab itu, Gereja sebagai sakramen dan sekaligus mediasi keselamatan mempunyai tugas sebagai medium yang menyalurkan karya kasih Allah kepada semua manusia tanpa terkecuali.[2]
Mengingat bahwa Gereja sebagai sakramen dan sekaligus medium keselamatan antara Allah dan manusia, dalam paper ini akan dibahas sikap Gereja terhadap kaum homoseksual, yang mana dalam pandangan masyarakat umum, mereka dianggap sebagai masyarakat kelas dua karena penyimpangan seksual yang mereka alami. Sikap di sini tidak dimaksudkan sebagai suatu sikap yang ambivalen (Gereja menolak atau menerima) seperti yang dibahas dalam Teologi Moral, tetapi bagaimana Gereja berupaya mendampingi mereka dan memberikan reksa pastoral (pelayanan rohani) yang tepat, sehingga kaum homoseksual merasa bahwa mereka adalah bagian dari umat Allah. Tinjauan ini didasarkan pada ajaran Gereja seperti yang tertuang dalam Katekismus Katolik (khususnya bagian yang membahas tentang homoseksualitas) dan Dokumen Gereja yang ditulis oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman dalam “Surat kepada Uskup Gereja Katolik Tentang Reksa Pastoral Orang-orang Homoseksualitas” dalam Dokumen Takhta Suci tentang Homoseksualitas, yang diterbitkan pada tahun 1986.

Pengertian Homoseksualitas: Beberapa Definisi
Secara etimologis, homoseksual terdiri dari dua kata yaitu homo dan seksualitas. Kata homo berasal dari kata dalam bahasa Latin yang berarti manusia. Sedangkan “seksualitas” berasal dari kata sexus (Lat.) yang berarti kelamin. Kecenderungan homoseksual juga dapat dibandingkan dengan kata “homotropie” (dari bahasa Yunani homos = sama/sejenis; tropos = arah, haluan). Bila pencetusan homotropie terjadi di bidang seksualitas genital, maka dapat disebut homoseksualitas.[3] Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama baik secara situasional maupun secara berkelanjutan.[4]
  Gerald D. Coleman, S.S. menyatakan bahwa homokseksual adalah keinginan yang mengarah pada tindakan seksual terhadap jenis kelamin yang sama. Homoseksual dapat dikatakan sebagai perasaan nikmat dan menyenangkan ketika menjalin relasi dengan pihak yang mempunyai kesamaan jenis kelamin. Sebaliknya akan timbul perasaan tidak semangat, benci, takut atau acuh tak acuh jika berelasi dengan jenis kelamin yang berbeda.[5]   
Menurut Karl-Heinz Peschke, homoseksual adalah rasa ketertarikan yang tetap, dominan, dan erotis terhadap pribadi jenis kelamin sama, yang acapkali (meskipun tidak mutlak) berkaitan dengan aktivitas seksual.[6]
Katekismus Gereja Katolik art. 2357 juga memberian definisi tentang homoseksualitas. Homoseksualitas merupakan relasi antara laki-laki dan perempuan yang merasakan ketertarikan seksual secara eksklusif atau terutama terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama.[7]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, homoseksual didefinisikan sebagai kecenderungan atau ketertarikan kepada jenis kelamin yang sama. Kecenderungan ini dapat terjadi baik kepada laki-laki maupun kepada kaum perempuaan.
Fenomena Homoseksualitas Zaman ini: Data-data umum
Dewasa ini praktik dan propaganda homoseksual telah merebak di hampir seluruh Gereja Eropa. Modernisme yang menawarkan aneka kemudahan membuat manusia dapat dengan mudah menentukan pilihan hidup yang ia senangi. Oleh sebab itu, praktik homoseksual menjadi sesuatu yang lazim dalam gaya hidup masyarakat modern saat ini. Praktik homoseksualitas menjadi semacam life style baru yang diakui keberadaannya.
Gejala dan fenomena ini menjadi perbincangan dan perdebatan yang hangat bukan saja di kalangan para pelayan Gereja tetapi juga di kalangan umat beriman. Gereja semakin disibukkan dengan adanya permintaan agar perkawinan sejenis dilegalkan. Hal ini tentu didasarkan pada fakta bahwa dewasa ini penyimpangan seksual khususnya berkaitan dengan homoseksual sudah semakin marak terjadi. Bahkan ada kalangan yang menyatakan bahwa kecenderungan untuk melakukan kegiatan homoseksual sebenarnya normal pada manusia. Pendapat ini didasarkan pada data sejarah bahwa sudah sejak dahulu fenomena homoseksual terjadi bahkan pada tokoh-tokoh besar yang dicatat oleh Colin Spencer dalam tulisannya yang berjudul Sejarah Homoseksualitas : Dari Jaman Kuno Hingga Sekarang (diterjemahkan dari Histoire de l’homosexualité : De l’antiquité à nos jours)[8]. Padahal sudah sejak awal Gereja tegas dalam hal ini bahwa perkawinan yang diterima oleh Gereja adalah perkawinan tradisional yaitu antara pria dan wanita. Jadi tidak ada ruang dalam Gereja Katolik pada khususnya untuk perkawinan sejenis baik homoseks maupun lesbian.
Selain itu, adanya penilaian yang lunak terhadap praktik homoseksual – rupanya bukan tanpa alasan – dengan alasan kekurangmatangan seksual, kebiasaan atau contoh yang jelek atau alasan-alasan yang serupa yang tidak tersembuhkan. Alasan yang terakhir ini, yaitu dengan mencantumkan “yang tidak tersembuhkan” melahirkan argumentasi terhadap pembenaran relasi homoseksual dalam persekutuan cinta sejati melalui ikatan perkawinan.[9]
Permintaan atas pelegalan praktik homosekseksual, pemberian izin untuk perkawinan sejenis, dan izin untuk menahbiskan pelayan Gereja yang terlibat homoseksual rupanya telah membuat Gereja berpikir bahwa inilah saat yang tepat untuk memberi pernyataan sikap yang tegas. Pernyataan sikap yang tegas ini haruslah dilandaskan bukan hanya ajaran Gereja dan Tradisi tetapi juga tetap mengikuti perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Sebagai catatan di sini adalah mengikuti zaman dan ilmu pengetahuan bukan berarti Gereja akan bersikap lunak pada teori ilmiah yang membenarkan pelanggaran. Gereja tetap akan bersikap kristis dan mendasarkan ajarannya pada pokok-pokok ajaran yang benar.
Sikap Gereja Terhadap Kaum Homoseksual
Dalam ajaran Katolik, aktivitas homoseksual adalah sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam dan penuh dosa,[10] sementara keinginan dan nafsu homoseksual adalah suatu kelainan (namun hal ini sendiri belum sepenuhnya dosa). Pihak Gereja menyatakan bahwa keinginan ataupun ketertarikan homoseksual itu sendiri belum tentu membentuk sebuah dosa.  Mereka dikategorikan sebagai sesuatu yang "menyimpang" dalam artian bahwa mereka mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang berdosa (yakni tindakan homoseksual). Namun, pengaruh-pengaruh yang di luar kendali seseorang tidak dianggap sebagai sesuatu yang berdosa baik dalam pengaruh itu sendiri maupun akibat dari pengaruh tersebut. Atas dasar alasan ini, walaupun Gereja menentang secara tegas usaha-usaha untuk mensahkan perilaku seksual sesama jenis kelamin, pihak Gereja juga secara resmi menekankan sikap hormat dan cinta kasih kepada mereka yang memiliki ketertarikan kepada sesama jenis. Oleh karena itu, Gereja dengan tegas menentang penganiayaan dan kekerasan terhadap kaum lesbian, gay, biseksual dan transeksual.
Catechismus Catholicae Ecclesiae tentang Homoseksualitas menyatakan bahwa kaum homoseks meski memiliki kecenderungan yang salah tetaplah harus disikapi dengan arif  yaitu diterima dengan penuh perhatian, belas kasih dan keramahan[11]. Dari anjuran ini dapat kita ketahui bahwa Gereja tidak mengucilkan kaum homoseks atau  mereka yang dianggap memiliki perilaku menyimpang dalam hal orientasi seksual, malahan Gereja memberi perhatian dengan menghindarkan sikap diskriminasi dari mereka.
"Jumlah pria dan wanita yang memiliki kecenderungan homoseksual yang tersimpan di bagian dirinya yang terdalam bukanlah sesuatu yang sepele. Kecenderungan ini, yang secara jujur merupakan suatu penyimpangan, merupakan suatu cobaan berat bagi kebanyakan dari mereka. Mereka harus diterima dengan rasa hormat, kasih, dan dengan kepekaan perasaan. Setiap tanda diskriminasi yang tidak adil dalam hubungannya dengan mereka harus dihindari. Mereka dipanggil untuk memenuhi keinginan Tuhan dalam hidup mereka dan, apabila mereka adalah umat Kristiani, untuk bersatu di dalam pengorbanan Salib Kristus dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang mereka mungkin hadapi karena kondisi mereka ini”.[12]
Selain itu, Gereja juga menawarkan anjuran sebagai berikut bagi mereka yang mempunyai ketertarikan terhadap sesama jenis:
"Kaum homoseksual dipanggil untuk hidup murni menahan nafsu. Dengan kemampuan untuk mampu mengendalikan diri sendiri yang mengajarkan mereka kebebasan dalam diri mereka sendiri, dengan kadang-kadang didukung oleh persahabatan yang tanpa pamrih, oleh doa dan karunia ilahi, mereka bisa dan seharusnya secara bertahap dan pasti mendekati menjadi sebagai seorang Kristiani yang sempurna”.[13]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap yang diambil Gereja bila berhadapan dengan homoseks adalah Gereja tidak bersikap kompromistis terhadap pelegalan perkawinan sejenis. Tetapi meski Gereja tidak berkompromi dalam hal perkawinan sejenis, Gereja tidak menghukum kaum homoseks, misalnya dengan menghentikan pelayanan kepada mereka. Gereja malahan mengharapkan keterlibatan kaum homoseks dalam pewartaan Kabar Gembira Yesus melalui pertobatan dan sikap mereka untuk secara sukarela mengubah perilaku seks mereka yang menyimpang dan mengarahkan diri pada ajaran Gereja sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium[14].
 Penentuan Arah dan Sikap Gereja
   Isu dan polemik tentang homoseksualitas akhirnya mendapat tanggapan dari Kongregasi Ajaran Iman. Kongregasi ini menuliskan sebuah Dokumen Gereja yang ditujukan kepada para Uskup Katolik tentang “Reksa Pastoral Orang-orang Homoseksual” yang diterbitkan pada tahun 1986:
“Isu homoseksualias dan penilaian moral tindakan-tindakan homoseksualual (sic!) telah semakin menjadi masalah perdebatan publik, juga di kalangan Katolik. Karena perdebatan ini sering mengajukan argumen-argumen dan pernyataan-pernyataan yang tidak konsisten dengan ajaran Gereja Katolik, selayaknya hal itu menjadi suatu alasan keprihatinan pada semua yang terlibat di dalam pelayanan pastoral. Kongregasi ini telah menilainya cukup berat dan tersebar untuk menyampaikan kepada para uskup Gereja Katolik Surat tentang Reksa pastoral Orang-orang Homoseksualual (sic!).”[15]

Dalam artikel pertama dokumen ini, dijelaskan bahwa munculnya dokumen ini berkaitan erat dengan isu dan perdebatan publik tentang homoseksualitas, apakah aktivitas ini dilegalkan atau dianggap sebagai tabu (dalam hal ini mengarah kepada dosa). Isu ini juga menjadi polemik dalam Gereja terutama dalam menentukan sikapnya, apakah Gereja, di satu sisi, mendukung tindakan/aktivitas homoseksual (terutama dalam melegalkan perkawinan sesama jenis ini) atau di sisi lain menolak dengan tegas tindakan/aktivitas ini dengan mengacu pada Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium Gereja.
Gereja tetap dalam posisinya yakni menolak dengan tegas aktivitas homoseksual, khususnya yang berhubungan dengan aktivitas genital. Gereja, seperti yang tertulis dalam dokumen ini, mendasarkan ajarannya pada Kitab Kejadian khususnya yang berhubungan dengan kisah penciptan manusia pertama sebagai gambar/rupa Allah, yang bertujuan untuk membentuk keturunan lewat hubungan suami dan istri (dari seorang laki-laki dan perempuan):
“Ajaran Teologis tentang penciptaan yang ada dalam Kitab Kejadian, menyediakan unsur-unsur fundamental untuk memecahkan dengan baik masalah-masalah yang diajukan homoseksualitas. Allah, dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya yang tak terbatas, menyelenggarakan semua realitas sebagai suatu refleksi atas kebaikan-Nya. Ia menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, menurut gambar dan rupa-Nya. maka dari itu, manusia adalah Allah sendiri; dan dalam komplementaritas jenis kelamin, mereka dipanggil untuk merefleksikan kesatuan intern Sang Pencipta. Mereka melaksanakan hal ini dengan cara yang khusus dalam kerjasama dengan-Nya di dalam penerusan dengan saling memberi diri satu sama lain.”[16]

Meskipun Gereja telah menentukan sikapnya secara tegas terhadap aktivitas ini, Gereja tetap membuka diri terhadap kaum homoseksual yang membuka diri kepada pertobatan. Gereja tidak hanya jatuh dalam penilaian-penilaian moral atas tindakan ini, melainkan mencari rekasa pastoral yang tepat bagi kaum homoseksual. Gereja sadar akan tugasnya sebagai perantara keselamatan antara Allah dan manusia seperti yang diteladankan oleh Yesus Kristus.[17]
Solusi: Melihat Peran Gereja Sebagai Perantara (Penyalur) Keselamatan
Reksa Pastoral bagi Kaum Homoseksual
Pandangan Gereja tentang homoseksualitas dan karya reksa pastoral bagi kaum homoseksual seperti yang tertuang dalam surat pastoral merupakan bukti bahwa Gereja hadir dan menyapa semua orang, terlebih mereka yang tertindas. Gereja sadar bahwa kehadirannya di dunia adalah sebagai perantara (medium) keselamatan Allah yang memang diperuntukkan bagi semua orang, tidak terkecuali kaum homoseksual. Meskipun dalam ajaran resmi Gereja, Gereja dengan tegas menolak aktivitas homoseksual (terutama perkawinan sejenis), akan tetapi Gereja membuka diri bagi pelayanan iman dan kerohanian kaum homoseks melalui reksa pastoral. Dalam hal reksa pastoral, Gereja menegaskan bahwa sikap arif Gereja terhadap homoseks bukan berarti ada pemaafan moral kepada mereka meski tindakan mereka dianggap sesuai dengan kepribadian mereka[18]. Sikap demikian diambil Gereja karena ia menganggap diri sebagai penerus dan institusi yang taat kepada amanat suci Yesus.
Pelayanan kepada kaum homoseks dipastikan oleh Gereja dengan cara yang benar dan tidak menyesatkan. Gereja turut prihatin atas sikap sebagian orang atau kelompok yang memandang rendah homoseksual dan menjadikan mereka sebagai sasaran kebencian yang diungkapkan dalam bentuk verbal maupun tindakan di satu sisi, dan di sisi lain, Gereja juga turut prihatin atas propaganda homoseksualitas yang gencar terjadi saat ini[19]. Pelayanan ini adalah sebagai bentuk kesadaran dari Gereja berkenaan dengan tugasnya sebagai perantara (mediasi) keselamatan antara Allah dan manusia lewat Yesus Kristus. Gereja sadar bahwa tugas utamanya adalah menyampaikan karya keselamatan ini kepada semua orang tanpa terkecuali.[20] Gereja tetaplah berperan sebagai penerus ajaran cinta kasih dan perantara keselamatan Allah sesuai dengan yang ia imani. Oleh sebab itu Gereja (melalui hierarkinya) tidak akan pernah bertindak sebagai lembaga yang mengucilkan orang-orang yang bersalah karena Gereja telah belajar dari pengalaman masa lalunya dan sejarah yang telah turut membentuknya.
Perhatian pastoral Gereja terhadap kaum homoseks terbukti dari adanya permintaan Kongregasi untuk Ajaran Iman kepada para uskup untuk menyempurnakan dan menyesuaikan pelayanan pastoralnya dengan ajaran Gereja, bagi pribadi-pribadi homoseksual[21]. Kenyataan dewasa ini berhubungan dengan homoseks memang bisa menimbulkan kerancuan dan gangguan bagi sebagian orang. Untuk itu, perlu jugalah diwaspadai bahwa kerancuan dan gangguan yang muncul itu tidak sampai disalahgunakan demi kepentingan kelompok atau pribadi tertentu. Sikap bijaksana tetaplah menjadi acuan agar terhindar tindakan yang melecehkan orang-orang homoseks tetapi dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang sudah lama diajarkan oleh Gereja. Dengan kata lain tidak ada sikap diskriminasi tetapi juga tidak ada sikap pemberian izin atas pemakluman atas perilaku yang dianggap menyimpang, karena Gereja hadir dengan sikapnya yang menghormati kebebasan dan hak tiap individu. Dalam sikap hormatnya terhadap kebebasan dan hak tiap orang, Gereja tetap kristis menyuarakan pandangannya tentang kebenaran. Terlebih kebenaran seperti yang diwartakan oleh Yesus Kristus dalam karya pelayanan-Nya selama di dunia, khususnya dalam mendampingi mereka yang miskin dan menderita (bdk. Luk. 4:18-19).
Penutup
            Gereja sadar akan tugasnya sebagai perantara keselamatan Allah bagi hidup manusia. Oleh sebab itu, dengan daya dan upayanya, Gereja membantu kaum homoseksual dalam rangka menghadirkan karya keselamatan Allah agar dapat dirasakan pula oleh mereka. Karya keselamatan ini harus menyapa semua orang karena kasih Allah itu bersifat universal, melampaui segala sesuatu yang ada di dunia ini. Oleh sebab itu, hendaknya misi suci Gereja ini mendapat dukungan dari seluruh anggota Gereja (umat Allah). Umat Allah (dalam hal ini kaum awam yang juga adalah Gereja) juga mendapat tugas sebagai saksi karya keselamatan Allah bagi semua orang yang ada di dunia ini. Dalam Lumen Gentium (LG) art. 33 ditegaskan bahwa kaum awam turut serta dalam perutusan keselamatan Gereja. Karena Gereja pada dasarnya adalah umat Allah itu sendiri.







KEPUSTAKAAN,
Buku
Cahyadi, Krispurwana.  Benediktus XVI. Yogyakarta: Kanisius. 2010.

Coleman,Gerald D. S.S. Homosexuality: Catholic Teaching and Pastoral Practice, USA: Paulist Press, 1995.
Go, Dr. Piet, O. Carm., Seksualitas Perkawinan, Malang: STFT Widya Sasana, 1985.
Jacobs, Tom, SJ. Gereja Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. 1988.
-------. Dinamika Gereja. Yogyakarta: Kanisius. 1979.
Peschke, Karl-Heinz, SVD., Etika Kristiani Jilid II Kewajiban Moral dalam kehidupan Pribadi, Maumere: Ledalero, 2003.
Homoseksualitas, seri Dokumen Gereja No.69, terj. R. P. Ignatius Sumarya, SJ dan Dr. Piet Go, O. Carm., Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2005.
Internet
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Homoseksualitas, diakses tanggal 3 November 2010.

Dokumen Gereja
Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana, S.J., Jakarta: OBOR, 1993.
Kompendium Katekismus Gereja Katolik, terj. Harry Susanto, SJ, Yogyakarta : Kanisius, 2009.


[1] Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium (Terang Bangsa-bangsa) art. 1.
[2] Dalam hal ini juga kaum homoseksualitas.
[3] Dr. Piet Go, O. Carm., Seksualitas Perkawinan, Malang: STFT Widya Sasana, 1985, hlm. 328.
[4] Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Homoseksualitas, diakses tanggal 3 November 2010.
[5] Gerald D. Coleman, S.S., Homosexuality: Catholic Teaching and Pastoral Practice, USA: Paulist Press, 1995, hlm. 15.
[6] Karl-Heinz Peschke,SVD., Etika Kristiani Jilid II Kewajiban Moral dalam kehidupan Pribadi, Maumere: Ledalero, 2003, hlm.307.
[7] Catechismus Catholicae Ecclesiae tentang Homoseksual art. 2357, tej. Dr. Piet Go, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Wali Gereja Indonesia, 2005, hlm. 27.
[9] Homoseksualitas: Pastoral dan Homoseksualitas, (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2005), art 8.
[10] "Tindak-tanduk homoseksual bertentangan dengan hukum alam. Tindakan-tindakan ini menutup unsur pemberian kehidupan dalam perilaku seksual. Mereka tidak berasal dari sebuah tindakan saling mengisi secara seksual dan secara penuh kasih sayang yang tulus. Di dalam situasi apapun tindakan-tindakan ini bisa disahkan. (Katekismus Gereja Katolik art. 2357)
[11] Ibid, art 2358.
[12] Ibid.
[13] Ibid., art.2359.
[14] Dalam bukunya yang berjudul Seksualitas Perkawinan, Rm. Piet Go, O. Carm, memuat beberapa argumentasi atas penilaian homoseksualitas. Ada argumentasi itu: berdasarkan otoritas yaitu argumetasi berdasarkan Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, dan argumentasi berdasarkan Tradisi dan Magisterium. (Bdk. Piet Go, O.Carm, Op.cit., hlm 333-334).
[15] Homoseksualitas..., Op.cit., art. 1.

[16] Ibid., art. 6
[17] Dr. Tom Jacobs, SJ, Gereja Menurut Perjanjian Baru, Yogyakarta: kanisius, 1988, hlm. 95.
[18] Ibid., art. 8.
[19] Ibid., art. 10.
[20] Krispurwana Cahyadi, SJ,  Benediktus XVI, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm 60.
[21] Ibid, art. 15.