Senin, 29 November 2010

FENOMENA KEBUDAYAAN POP (MASS CULTURE) DALAM MASYARAKAT MODERN INDONESIA; BAGAIMANA MENYIKAPINYA?



Pengantar
Dalam Era virtual yang sarat dengan informasi dan pencitraan, budaya massa[1] semakin menemukan tempatnya yang melebihi realitas kebudayaan-kebudayaan tradisional dalam suatu negara. Fenomena ini juga terjadi dalam realitas hidup masyarakat modern Indonesia.[2] Dalam keseharian masyarakat Indonesia, budaya massa telah berkembang jauh dan pesat, menjangkau seluruh wilayah dan lapisan suku-suku bangsa berkat sentuhan teknologi informasi yang semakin canggih. Masyarakat telah diarahkan untuk memilih, menyenangi, membeli, lalu mengonsumsi produk budaya massa yang ditampilkan lewat teknologi komunikasi dunia virual. Suatu produk unggulan tidak lagi diukur menurut kualitas yang dihasilkan dalam dan lewat produk tersebut, tetapi lewat kekuatan promosi yang disebarkan lewat instrumen-instrumen hasil rekayasa teknologi modern. Fenomena ini telah menjadi semacam ‘budaya baru’ bagi masyarakat Indonesia seiring dengan berkembangnya teknologi, tetapi di sisi lain tidak diimbangi dengan perkembangan daya kritis masyarakat. Budaya massa telah menjebak masyarakat untuk masuk dalam lingkaran fatamorgana yang semu dari sebuah realitas.
Berangkat dari fenomena ini,  maka dalam tulisan ini saya akan menguraikan dan sekaligus menguak mitos-mitos budaya massa dalam masyarakat modern Indonesia. Fenomena ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah memberi dampak yang kurang baik[3] terhadap perkembangan kebudayaan dan kesenian asli Bangsa Indonesia. Pada pembahasan berikutnya, saya juga akan menguraikan pengaruh teknologi Informasi terhadap penyebaran budaya massa yang tidak diimbangi dengan daya nalar kritis bangsa Indonesia. Lalu pada bagian relevansi saya akan menawarkan solusi untuk bagaimana menghidupkan kembali otensitas budaya bangsa yang saat ini telah semakin terhimpit oleh perkembangan arus budaya massa.
Fenomena Budaya Massa (Di Indonesia) ; Sekilas Pemahaman
            Dalam pengertian yang sederhana, budaya massa didefinisikan sebagai budaya populer yang diproduksi melalui teknik-teknik Industrial produksi massa[4] dan didistribusikan, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan, kepada konsumen massa. Budaya massa adalah budaya populer (saat ini) yang dipasarkan dalam dan untuk pasar masal.[5] Budaya massa memberikan ruang kebebasan[6] bagi individu untuk memilih berbagai produk budaya massa sehingga mengarahkan masyarakat kepada gaya hidup konsumerisme.[7]
            Budaya massa diinterpretasikan secara negatif oleh beberapa ahli. Roland Barthes mengatakan bahwa budaya massa adalah budaya yang direproduksi secara terus menerus secara masal yang membuat manusia menjadi konsumtif dan mengalami penyeragaman dalam cara berpikir dan bercita rasa. Menurutnya, dalam budaya massa dihadirkan retorika citra sebagai penyaluran mimpi-mimpi dalam mitologi masyarakat modern. Yang berusaha ditonjolkan dalam pencitraan ini adalah citra alamiah dari realitas yang real[8] yang bertujuan untuk membangkitkan hasrat (untuk memiliki, membeli, lalu kemudian mengonsumsi) dalam masyarakat. Boudrillard menyatakan pendapat yang sama dengan Roland Barthes. Ia berpendapat bahwa kegiatan konsumsi tidak selalu merujuk pada alasan fungsionalnya. Menurutnya, citra yang dibentuk dalam budaya massa mengalahkan kenyataan (fungsi benda yang real). Citra lebih penting daripada realitas empiris yang sesungguhnya yang dihasilkan oleh suatu produk. Oleh sebab itu, konsumsi yang dibentuk dalam dan oleh citra budaya massa, akhirnya, dijadikan sebagai sarana untuk meraih status yang ada dalam budaya. Di sini, Boudrillard melihat bahwa dalam budaya massa manusia mengkonsumsi sekaligus produk real dan non-real.[9]     
Fenomena budaya massa telah merebak hampir di seluruh wilayah Indonesia, khususnya daerah-daerah yang telah dimasuki oleh teknologi yang memungkinkan masyarakat mengakses berbagai hal dan peristiwa yang selalu up to date. Fenomena ini bisa selalu dijumpai di jalan-jalan perkotaan tempat berbagai jenis iklan menawarkan produk-produk muktahir dan berkelas,[10] mall-mall tempat berjubelnya massa dari berbagai golongan dan profesi yang selalu ingin mengetahui produk-produk terbaru hasil rekyasa teknologi, dan berbagai tempat strategis lainnya yang memungkinkan untuk pemasaran produk budaya massa. Setiap detik dan menit, masyarakat berlomba-lomba memenuhi hasrat pribadi untuk mengakses, memiliki dan mengonsumsi produk-produk baru yang ditawarkan dan sekaligus mewakili trend massa kini.[11] 
Salah satu model budaya massa yang berkembang dan sedang trend dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat perkotaan, adalah budaya shopping mall. Shopping mall telah menjadi budaya baru masyarakat Indonesia. Shooping mall dianggap sebagai bentuk pemuasan akan rasa penasaran manusiawi akan sesuatu yang baru. Masyarakat lebih senang berbelanja atau hanya sekedar menghabiskan waktu untuk shopping mall dari pada berbelanja di pasar rakyat (tradisional). Shooping mall dapat memuaskan fantasi karena dengan melihat dan memilih berbagai jenis produk yang ditawarkan, hasrat seseorang akan senantisa dipuaskan. Selain itu, shopping mall juga dapat menaikkan gengsi masyarakat yang sedang mengikuti trend perkembangan zaman. Yasraf Amir Pialang mengutarakan bahwa shopping mall adalah manifestasi dari budaya massa yang bersifat fantasi. Mall menjelma menjadi sebuah agen difusi, menjadi sebuah ruang kelas, yang di dalamnya manusia mempelajari seni dan keterampilan untuk menghadapi peran baru mereka yang sentral sebagai konsumen masa depan. Shopping mall pada akhirnya mempunyai peran sentral sebagai citra cermin (mirror image) masyarakat Indonesia. Dalam shopping mall, kegiatan belanja berubah fungsi hanya sebagai pengisi waktu senggang. Masyarakat lebih senang menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan di mall atau hanya sekedar melihat-lihat (windows shopping) produk-produk keluaran terbaru, tanpa harus membeli produk tersebut.[12] 
Teknologi Informasi dan Penyebaran Budaya Massa
Pembentukan budaya massa selalu berjalan beriringan dengan perkembangan komunikasi massa. Komunikasi massa dan segala institusinya[13] memiliki peranan yang sangat signifikan dan efektif dalam kaitannya untuk menajamkan opini dan mempengaruhi perilaku massa secara massal serta pembentukan homogenitas budaya dalam masyarakat. Komunikasi massa yang direpresentasikan oleh media massa mempercepat penyebaran budaya massa terutama ke tempat-tempat (daerah) yang dapat dijangkau oleh teknologi Informasi. Ia (media massa), dengan kekuatannya, lalu mengarahkan dan membentuk perilaku (dan pemikiran) khalayak dan menjadikan khalayak sebagai pasar dari produk yang mereka ciptakan.[14] Masyarakat (secara sengaja) diarahkan (dalam arah satu dimensi) untuk membeli aneka produk budaya massa lewat senjata hipnotis teknologi yang dengan sigap dan cermat mempengaruhi dan sekaligus merasuk nalar awam masyarakat. Nalar masyarakat sengaja dibekukan dan diarahkan lewat pencitraan yang dibentuk melalui bahasa-bahasa iklan yang menarik dan memikat.   
Saat ini, teknologi informasi, yang diwakili oleh media massa, memiliki kredibilitas yang tinggi dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat akan suatu produk budaya yang dihasilkan. Teknologi informasi telah membuat batas-batas yang kabur antara produk budaya tinggi yang merupakan hasil daya cipta masyarakat dan produk budaya massa yang merupakan rekayasa. Teknologi informasi menyulap sedemikian rupa sehingga masyarakat (konsumen) tidak lagi dapat membedakan mana produk otentik yang lahir dari masyarakat dan mana yang merupakan hasil rekayasa. Media dan konsumsi telah menggeser ikatan sosial yang semula mementingkan aspek moral dan kognitis dengan ikatan estetik[15]. Masyarakat (dengan mudah) percaya bahwa apa yang dikemukakan media massa adalah realitas yang sepenuhnya berasal dari kebenaran yang aktual. Dengan kata lain, realitas media dianggap sebagai representasi dari fakta. Oleh karena itu, media massa telah menjadi “ruang” yang menghadirkan realitas nyata bagi khalayak dan realitas tersebut diakui sebagai kebenaran umum yang (selalu) dapat diterima.
Budaya Massa dan Hilangnya Otensitas Budaya Adiluhung
             Disadari atau tidak, perkembangan teknologi informasi yang dimanfaatkan oleh produser budaya untuk merekayasa budaya massa dan menyebarluaskannya telah menggeser pengaruh budaya elite yang adiluhung dalam masyarakat Indonesia. Pertumbuhan budaya massa memberikan ruang yang semakin sempit bagi segala jenis kebudayaan yang tidak menghasilkan uang dan tidak dapat diproduksi secara masal, seperti kesenian dan budaya daerah.[16] Kesenian, lukisan, tarian-tarian daerah, adat-istiadat, kebiasaaan-kebiasan, pola pikir dan daya kritis bangsa Indonesia (yang mewakili kebudayaan otentik bangsa Indonesia) tidak lagi dianggap sebagai manifestasi dari kekayaan budaya bangsa Indonesia yang harus dilestarikan dan dijaga keotentikannya, tetapi dipakai sejauh kebudayaan tersebut mendatangkan keuntungan bagi produsen dan sekaligus dapat diterima oleh masyarakat. Komersialisai ini berjalan seiring perkembangan teknologi Informasi yang semakin canggih dalam merekayasa bentuk-bentuk kebudayaan (tradisional dan asli) Indonesia dan mengubah sedemikian rupa untuk menjadi produk budaya masal dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian otensitas budaya adiluhung bangsa Indonesia kehilangan identitas makna aslinya. Orang tidak lagi menilai kesenian daerah (sastra, puisi, tari-tarian, lukisan, seni patung) sebagai sesuatu yang mempunyai makna yang merepresentasikan perasaan, nilai hidup, ideologi, mentalitas, dan mindset  yang dianut oleh masyarakat, tetapi hanya sebagai tontonan “gratis” media massa guna memenuhi hasrat konsumen. Kesenian dan kebudayan daerah tidak lagi dilihat sebagai kekayaan bangsa yang harus dipertahankan tetapi hanya sebagai monumen kenangan yang tersimpan di museum-museum bersejarah,[17] yang hanya diingat sejauh untuk membangkitkan romantisme kejayaan masa lalu.
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono dalam bunga rampai “Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil” menuliskan kerisauannya akan perkembangan budaya massa di Indonesia. Menurutnya penyebaran budaya massa, sebagai akibat dari perkembangan teknologi komunikasi, tidak dapat dihindari. Ia menggagaskan pendapatnya tentang budaya massa dan pengaruh (negatif)nya bagi kelangsungan budaya adiluhung bangsa sebagai berikut:[18]
1. Kebudayaan massa diproduksi secara besar-besaran demi mencapai keuntungan belaka.
2. Kebudayaan massa berpotensi merusak kebudayaan tinggi dengan cara meminjam atau mencuri atau memperalatnya.
3. Kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang sangat buruk terhadap khalayak.
4. Penyebarluasan kebudayaan massa dianggap tidak hanya memerosotkan atau mengurangi nilai kebudayaan tinggi (adiluhung) itu sendiri tapi juga menciptakan khalayak yang pasif yang sangat tanggap terhadap berbagai teknik godaan dan bujukan, sehingga membuat peluang bagi munculnya totalitarianisme.
Catatan kecil ini mengingatkan kita bahwa kekayaan budaya bangsa yang telah dibentuk dan dibangun sejak berabad-abad yang lalu akan terkikis dan mati secara pelahan-lahan jika tidak segera disikapi secara bijaksana dan kritis. Masyarakat Indonesia, meliputi jajaran elite pemerintah dan rakyat pada umumnya, perlu melakukan langkah konkret untuk menghidupkan dan membudayakan kembali budaya adiluhung bangsa, yang telah diakui keberadaannya sejak peradaban kebudayaan muncul di negeri ini, agar nilai moral, etis, dan pesan kritis yang terkandung di dalamnya menjadi ideologi dan cara hidup masyrakat Indonesia dalam menyikapi arus budaya massa saat ini.  
Menyikapi Secara Kritis Perkembangan Budaya Massa ; Sebuah Pesan Kritis
Perkembangan dan pengaruh budaya massa akan terus melesat jauh meninggalkan kebudayaan elite bangsa Indonesia jika tidak ada sikap yang tegas dan kritis dari masyarakat Indonesia dalam mengkritisi wacana yang sedang berlangsung saat ini. Perlahan-lahan dan secara bertahap budaya elite bangsa ini hanya akan tinggal sebagai kenangan sejarah masa lalu yang akan dilupakan keberadaannya. Oleh sebab itu, perkembangan kebudayaan elite (asli, adiluhung) bangsa harus mendapat perhatian yang serius dari semua golongan masyarakat, yang hidup dalam pluralitas budaya yang sangat kaya dan beraneka ragam ini. masyarakat Indonesia perlu untuk tetap menjaga, melestarikan, dan berpegang teguh pada budaya luhur bangsa yang menunjukkan identitasnya (keaslian) dan jati diri sebagai bangsa Indonesia, meskipun pengaruh dari budaya massa saat ini tidak bisa dihindari dan ditolak keberadaannya.
Agar tidak terpengaruh dan terjebak dalam arus budaya massa, masyarakat diharapkan (1) tetap menjadi pelaku (subjek budaya); artinya menjadi orang yang utuh, yang identitasnya tidak tenggelam dalam pengaruh budaya (massa) yang sedang berkembang. Ia tetap menjadi pengendali budaya tanpa merasa hal ini sebagai suatu superioritas. Ia tetap menjadi dirinya sendiri dan ia pun berhak penuh untuk menafsirkan apa yang dialaminya. Ia tidak larut dalam objeknya, tetapi tetap menjadi subjek.  (2) tidak mengalami alienasi, dan jati dirinya tetap; arinya, pemilik sekaligus pelakunya tidak mengalami alienasi. Ia akan merasa akrab dengan kehidupan, sebab disuguhkan realitas tanpa polesan. Dan pada akhirnya (3) akan mengalami pencerdasan. Karena menjadi pelaku yang utuh dan tak teralienasi, maka ia akan mengalami pencerdasan. Ia pun akan mendapatkan kebijaksanaan dan menjadi lebih pandai dari sebelumnya.[19]
Soerjanto Poespowardoyo dalam buku Strategi Kebudayaan mengatakan pentingnya keutuhan manusia dalam menyikapi secara bijak aneka pengaruh dan perkembangan budaya massa yang dapat mengancam eksistensi budaya bangsa. Keutuhan manusia meliputi dimensi religius, budaya, dan ilmiah. Dimensi religius menunjukkan bahwa manusia adalah misteri yang tidak dapat direduksir menjadi faktor semata-semata. Dengan demikian, manusia dapat dicegah untuk dijadikan angka, ataupun robot yang secara otomatis dapat diprogramkan oleh alat-alat canggih teknologi, tetapi sebaliknya, manusia tetap mempertahankan kepribadiaan, kebebasan, dan martabatnya. Dimensi budaya menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk etis yang berkewajiban terhadap kelestarian dunia dan seisinya. Dalam dimensi ini, manusia memperoleh dasar untuk mempertahankan keutuhan pribadinya. Dengan demikian dia mampu mencegah arus zaman budaya massa yang dapat mengancam kehidupan manusia. Dimensi ilmiah mendorong manusia untuk bersikap objektif dan realistis dalam menghadapi aneka polemik zaman dengan berbagai masalah hidup manusia di era teknologi informasi saat ini. Melalui dimensi ini, manusia diharapkan untuk mengembangkan keterampilan dan kreativitas berpikir agar tidak selalu terbuai dan terjebak dalam “kebohongan-kebohongan” yang diciptakan oleh teknologi.[20]
Relevansi
Mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat dan bangsa Indonesia harus bergulat dalam arus modernisasi teknologi dengan segala ciptaan dan aneka pencitraan. Rekayasa dan pencitraan yang dibangun lewat sistem teknologi canggih telah memberi pengaruh (baik positif maupun negatif) bagi perkembangan dan sekaligus kemerosotan otensitas budaya bangsa. Masyarakat Indonesia dihadapkan pada dua fenomena yang bertentangan, namun dengan rekayasa yang sedemikian rupa, dua fenomena ini seolah-seolah terlebur menjadi satu. Otensitas budaya bangsa yang dibangun sejak awal peradaban manusia Indonesia kehilangan makna di tengah arus budaya massa yang dibangun lewat sistem komunikasi massa tercanggih saat ini. Bahaya terbesar yang dipastikan akan muncul, jika perkembangan ini tidak disikapi secara kritis, adalah masyarakat Indonesia akan kehilangan identitas diri dan martabat sebagai masyarakat yang memegang teguh budaya lelulur (budaya bangsa). Masyarakat akan terus terombang-ambing dalam arus budaya massa jika tidak berusaha untuk segera keluar dalam cengkraman arus yang setiap saat akan terus bergejolak.
Menyikapi fenomena ini, perlu ada ketegasan dari masing-masing pribadi untuk membawa diri sampai pada tahap kesadaran penuh. Kesadaran ini menghantar seseorang pada tahap yang lebih jauh yakni menyikapi secara kristis segala hal yang hadir dan memenuhi ruang hidupnya. Manusia diberi akal budi untuk memilih bagian yang terbaik yang dapat mengembangkan keutuhan dirinya yang meliputi dimensi religius, dimensi budaya, dan dimensi ilmiah. Dengan pilihan itu, diharapkan ia memberikan sumbangan yang berarti bagi budaya bangsa yang mencerminkan identitas diri dan bangsanya. Pemikiran dan sikap kritis manusia Indonesia tentunya diimbangi dengan lembaga pendidikan yang memadai dan sekaligus profesional dalam medidik anak bangsa untuk menjadi seorang warga negara yang kritis serta tidak apatis[21] dalam menyikapai segala aneka perkembangan dan perubahan saat ini. Saatnya, lembaga pendidikan di Indonesia menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam memanusiakan harkat dan martabat anak bangsa dalam arus zaman yang semakin kompleks saat ini. Sikap kritis yang dibangun lewat pendidikan dan pembinaan seluruh dimensi manusiawi, diharapkan mampu memberikan solusi terbaik bagi masyarakat Indonesia untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai etis dan moral yang terkandung dalam budaya bangsa Indonesia.   
Penutup
            Fenomena budaya massa adalah suatu realitas yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Kita tidak pernah akan bisa berlari menjauh dari fenomena yang telah menjamur bagaikan cendawan di musim hujan, karena semakin jauh kita berlari, maka akan semakin cepat pula ia akan mengejar lalu menghambat dan kemudian menjerat kita dalam lingkaran arus yang berputar sedemikian cepat dari waktu ke waktu. Cara terbaik yang bisa dilakukan adalah menyikapi secara bijaksana, yakni memilih bagian mana yang baik dan berguna bagi perkembangan budaya bangsa, dan sekaligus, lewat budaya ini, mengangkat martabat serta identitas bangsa di mata dunia internasional, karena tujuan dari kebudayaan adalah menjadikan manusia semakin manusiawi dengan konsep pemikiran yang matang, kritis, dan selalu dinamis dalam aneka pertarungan zaman ini.


KEPUSTAKAAN,
Buku
Barthes, Roland. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa (Terj. Ikramullah Mahyuddin). Yogyakarta: Jala Sutra. 2007.
Budiman, Hikmat. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius. 2002.
Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indenesiatera, 2001.
Pialang, Yasraf Amir. Postrealitas; Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika. Yogyakarta, Bandung: Jalasutra. 2009.
Poespowardoyo, Soerjanto. Srategi Kebudayaan. Jakarta: Gramedia. 1989.
Srinati, Dominic. Popular Culture : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer,(terj. Abdul Muchid). Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA. 2009.
Suseno, Frans Magnis. Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Sumber Internet
Http://Sosbud.Kompasiana.Com/2010/06/16/Budaya-Massa-Mass-Culture, diakses tanggal 20 Oktober 2010, Pukul 20.15 WIB.
Http://Www.Ruangbaca.Com/, diakses tanggal 18 Oktober 2010 Pukul 20.00 WIB.

Koran
KOMPAS Jawa Timur, 20 Oktober 2010.







[1] Istilah budaya massa (oleh beberapa ahli)  kerap disamakan dengan budaya populer. Akan tetapi ada beberapa ahli yang mencoba membedakan keduanya karena budaya tinggi pun bisa disebutkan sebagai budaya populer. Jadi istilah budaya massa biasanya diberi arti tersendiri dan dibedakan dari budaya populer (Lih Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta : Kanisius, 2002, hlm., 102)
[2] Diwakili oleh masyarakat yang tinggal di kota-kota besar dan juga daerah-daerah yang telah tersentuh oleh perkembangan teknologi informasi (virtual).
[3] Ungkapan ini hanya mau mengatakan bahwa dalam konteks Bangsa Indonesia Fenomena Budaya massa sepertinya cenderung membawa dampak yang kurang baik bagi perkembangan budaya asli dari Bangsa Indonesia, meskipun sebenarnya di satu sisi budaya massa bisa berjalan bersama dengan memberikan sumbangan positif bagi budaya tradisional suatu bangsa (Bdk. Hikmat Budiman, Op.cit., hlm 146-148).
[4] Berkaitan langsung dengan teknologi modern.
[5] Dominic Srinati, Popular Culture : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer,  terj. Abdul Muchid,  Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2009, hlm 36.
[6] Kebebasan tidak diartikan sebagai bentuk pilihan untuk “atau memilih atau tidak memilih”, tetapi merupakan suatu bentuk kebebasan yang dimanipulasi dan diarahkan (kebebasan semu).
[7] Kuniawan, Semiologi Roland Barthes, Magelang: Indenesiatera, 2001, hlm., 108).
[8] Roland Barthes, Membedah Mitos-mitos Budaya Massa, Terj. Ikramullah Mahyuddin, Yogyakarta:Jala Sutra, 2007, hlm., 341.
[9] Real di sini mau mengatakan produk yang sesunguhnya dengan fungsi asli dari produk tersebut sedangkan non-real berarti citra yang berusaha dibangun dan dibangkitkan lewat produk tersebut untuk menarik lebih banyak konsumen (massa)
[10] Sesuai dengan bahasa iklan yang menawarkan produk tersebut (sebagai contoh iklan produk yang dimuat dalam KOMPAS Jawa Timur, Kolom G, 20 Oktober 2010 yang menawarkan produk-produk teknologi terbaru. Hampir selalu dikatakan bahwa produk tersebut adalah produk elite dan berkelas. Bdk. juga kata-kata iklan untuk Kecap nomor 1, Saus nomor 1 dsb. )
[11] Fenomena yang umum, berkaitan dengan budaya massa ini, dalam masyarakat Indonesia adalah kepemilikan handphone. Dalam pertarungan pasar bebas saat ini produk handphone menawarkan aneka jenis keluaran terbaru merek handphone. Ketika produk handphone merek Black Berry booming di tanah air, massa berlomba-lomba untuk memiliki handphone keluaran terbaru ini.
[12] Yasraf Amir Pialang, Postrealitas; Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika, Yogyakarta, Bandung: Jalasutra, 2009, hlm. 115-116.
[13] Roland Barthes menyebutnya sebagai golongan (kaum) kapitalis, pemilik modal atau juga kaum borjuis.
[15] Dominic Srinati, Op.cit., hlm 13.
[16] Dominic Srinati, Ibid., hlm., 36.
[17] Istilah “museum” yang saya gunakan di sini tetap selalu kembali ke konteks masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang (hampir selalu) lupa akan sejarh masa lalu. Peninggalan-peninggalan sejarah yang tersimpan di museum kerap hanya sebagai koleksi yang dipertontonkan tanpa berusaha menggali makna kritis dibalik peninggalan-peninggalan tersebut. Begitu pula yang terjadi dengan kesenian dan kebudayaan otentik Bangsa Indonesia saat ini. Arus budaya massa telah menghanyutkan pikiran masyarakat Indonesia untuk hanya terbuai dalam satu lingkaran dan melupakan segala sesuatu di luarnya.
[18] Http://Www.Ruangbaca.Com/, diakses tanggal 18 Oktober 2010 Pukul 20.00 WIB.

[20] Soerjanto Poespowardoyo, Srategi Kebudayaan, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm., 220-222.
[21] Menarik bahwa Sutan Takdir Alisjahbana pernah mengkritik pendapat (pandngan) umum yang mengkritik bahwa  kebudayaan Barat merupakan suatu bentuk modernisasi yang dapat menghancurkan kebudayaan nasional Indonesia. Ia berpendapat bahwa Indonesia, di satu pihak Indonesia harus berani menjadi negara-negara yang modern, tetapi dalam hal itu mempertahankan jenisnya sebagai bangsa yang secara alami menghayati estetika menjadi sutu budaya yng khs dan unik, yang dalam kekhasan itu dapat menjadi sumbangan amat indah pada kebudayaan umat manusia universal. (Frans Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm., 143.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar