Senin, 29 November 2010

KONSILI KONSTANTINOPEL I (381): (Latar Belakang Politis, Heresi, Rumusan Kristologi, Kredo, Kanon)



Pengantar
            Dalam sejarah Gereja awal, polemik mengenai eksistensi Allah Tritunggal selalu menjadi topik utama dalam aneka perdebatan untuk melawan heresi. Selama berabad-abad Gereja Katolik dihadapkan pada aneka macam heresi yang mengancam “bangunan kokoh” Gereja, yang nota bene telah berdiri sejak zaman Yesus Kristus (Bdk. Mat 16:18). Pemahaman dan pengungkapan akan misteri Allah Tritunggal yang mewujud dalam diri Bapa, Putera, dan Roh Kudus membingungkan banyak pihak tidak terkecuali Gereja sebagai otoritas tertinggi[1] yang menentukan apakah suatu dogma atau ajaran yang dicetuskan dapat diterima oleh Gereja universal.[2] Dengan bertitik tolak dari pemahaman yang kabur akan misteri Allah Tritunggal, tidak mengherankan jika dalam sejarah Gereja awal muncul banyak heresi yang berusaha untuk merumuskan dan menafsirkan sendiri ajaran-ajaran tentang Allah Tritunggal agar misteri Allah yang mewujud dalam diri Bapa, Putera, dan Roh Kudus ini dapat dipahami dalam batas alam pikir manusia.[3]
Berhadapan dengan polemik ini, otoritas Gereja harus mengambil posisi yang meyakinkan dalam dalam menentukan ajaran Iman tentang Trinitas. Gereja harus mampu mengungkapkan iman kepercayaan (Kredo) ke dalam bahasa yang dapat dimengerti dan diterima oleh suatu kebudayaan tempat Gereja berkembang dan mewujudkan diri. Dalam menghadapi dan melawan pendapat, pandangan, dan sistem yang tidak dapat diterima oleh Gereja, tidaklah cukup bila yang menjadi rujukan hanya ayat-ayat Kitab Suci yang menyebut Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus (Bdk. Mat 28:19). Gereja perlu mengembangkan ajaran imannya lebih lanjut agar pemahaman iman akan Allah Tritunggal (yang mencakup Bapa, Puera dan Roh Kudus) tidak terus-menerus menjadi sebuh polemik yang berkepanjangan.
Oleh sebab itu, dalam paper seminar ini, kami akan mengulas, mengkaji dan sekaligus mendalami usaha Gereja dalam meyakinkan dan mengembangkan suatu ajaran iman (Kredo) akan Allah Tritunggal dalam Konsili Konstantinopel I yang diadakan di Konstantinopel (sekarang Istanbul; Turki) pada Tahun 381. Kami akan membahas berkaitan dengan sejarah singkat diadakannya Konsili, Latar Belakang Politis dan Heresi yang berkembang pada zaman itu, Kanon, Kredo, dan Rumusan Kristologis sebagai antitesis bagi Heresi yang berkembang dan sekaligus mengancam posisi serta keyakinan iman Gereja.

Sekilas Sejarah Konsili Konstantinopel I
            Konsili Konstantinopel yang berlangsung pada tahun 381 disebut juga sebagai Konsili (sinode) Ekumenis II setelah Konsili Nicea (325). Konsili ini diadakan atas undangan Kaisar Flavius Gratianus (359-383) dan Theodosius I untuk meredam sekte Arianisme yang sedang marak saat itu, khususnya dalam merumuskan ajaran Kristologi mengenai Allah Tritunggal, yakni yang berkenaan dengan hubungan antara Bapa dengan Putera dan Roh Kudus, Putera dengan Bapa dan Roh Kudus, dan Roh Kudus dengan Bapa dan Putera. Konsili ini dihadiri sekitar 150 Uskup yang berasal dari Gereja Timur (Ortodoks).
            Gambaran umum mengenai sejarah Konsili Konstantinopel I ini dapat dijelaskan sebagai berikut:[4]
1. Konsili Konstantinopel I bukanlah seperti Konsili Ekumenis pada umumnya, yang dihadiri oleh baik perwakilan dari Gereja timur maupun Barat. Konsili ini hanyalah perkumpulan dari 150 uskup Lokal Gereja Katolik Timur.
3. Konsili ini tidak diadakan atas undangan Paus.
4. Tidak ada satu perwakilan dari Gereja Barat yang hadir dalam konsili ini, baik Uskup maupun para Imam.
5. Konsili ini pertama kali dipimpin oleh Uskup Meletius yang pada waktu itu menjabat sebagai Uskup Anthiokia. Setelah ia meninggal, Konsili dipimpin (diambil alih) oleh Gregorius dari Nazianze yang menjabat sebagai Uskup Konstantinopel.  Akan tetapi, Paus Damasus mendeklarasikan bahwa terjemahan para Uskup harus dihindari. Oleh sebab itu, Timotius, Uskup Aleksandria, mengumumkan bahwa pernyataan/terjemahan Uskup Gregorius tidak sah. Gregorius berhenti dari jabatannya sebagai pemimpin Konsili dan diganti oleh Nectarius (Uskup Agung Kontantinopel) hingga konsili usai.
6. Konsili Konstantinopel I ini disebut juga konsili para kudus. Para sejarawan Roma mengatakan bahwa di Konstantinopel berkumpul orang-orang kudus yang kesuciannya sungguh luar biasa.[5]
7. Konsili Konstantinopel I berakhir pada tanggal 9 Juli 381.
            Konsili Konstantinopel I menghasilkan empat kanon utama (Kanon 1-4) yang dianggap sebagai kanon asli dari Konsili ini. Kanon 5 dan 6 disusun dan dirumuskan dalam Konsili konstantinopel II yang diadakan pada tahun 382, sedangkan kanon 7 dikutip dari surat yang ditulis oleh Gereja Konstantinopel kepada Martyrius dari Antiokia. Selain itu, Konsili ini juga menghasilkan Kredo iman, yang merupakan tambahan dan sekaligus koreksi atas Kredo Konsili Nicea. Kredo ini biasanya disebut juga dengan Kredo Nicea-Konstantinopel.

Latar Belakang Politis
            Dengan ditetapkannya Kredo dan Dekrit Konsili Nicea, secara teoritis berakhir pula kontroversi arianisme. Namun, secara de facto kontroversi tersebut terus berlanjut secara dramatis hingga diadakannya Konsili Konstantinopel I (381). Kontroversi ini terjadi karena keanekaragaman interpretasi tentang istilah tertentu yang terdapat pada Kredo Nicea khususnya yang berkaitan dengan terminologi Ousia dan Hypostasis. Dalam rumusan Konsili Nicea, istilah Hypostasis (substansi) dan Ousia (hakikat) digunakan secara sinonim. Hypostasis atau Ousia Sabda sinonim dengan Hypostasis atau Ousia Bapa. Terminologi ini menyulut banyak kontroversi, khususnya berkenaan dengan kedudukan Yesus Kristus sebagai pribadi dalam Allah Tritunggal dan hubungan-Nya dengan Bapa dan Roh Kudus. Kontroversi ini tentunya  membahayakan bagi rumusan dan ajaran iman Gereja akan pemahaman yang mendalam akan misteri Allah Tritunggal. Keanekaragaman interpretasi ini bertendensi untuk memicu berkembangnya aliran-aliran sesat (heresi) yang berusaha untuk merumuskan ajaran iman (yang benar dan tepat) dari Gereja, khususnya yang menyangkut hubungan antara Bapa, Putera, dan Roh Kudus.

Dari Homoousia Ke Hypostasis
            Konsili Nicea dengan Kredo (ajaran iman) yang menekankan bahwa Yesus Kristus sehakikat dengan Bapa (Homoousios) telah mengakhiri perdebatan mengenai hakikat Ilahi Yesus Kristus. Gereja berhasil meyakinkan bahwa Yesus Kristus Putera Allah adalah Allah sejati, sehakikat dengan Bapa dalam kodrat Keallahan-Nya. Dengan demikian ajaran sesat arianisme dapat diredam oleh Gereja lewat ajaran iman  yang dirumuskan dalam Kredo Konsili Nicea.
            Pasca konsili Nicea, kontroversi Kristologis ini mulai muncul kembali. Hal ini berkaitan dengan terminologi yang digunakan dalam konsili ini khususnya kata Ousia dan Hypostasis. Dalam konsili Nicea, kedua terminologi ini digunakan secara sinonim (Hypostasis sama dengan Ousia) dan bisa digunakan secara bergantian. Hypostasis Allah Bapa pada saat yang sama sejajar (sinonim) dengan Ousia Allah Bapa.[6]
            Kedua terminologi ini ternyata menyulut permasalahan baru dalam perdebatan Kristologis Pasca Konsili Nicea. Jika pada Konsili Nicea, hal yang diperdebatkan berkenaan dengan hakikat sejati (kodrat) Yesus Kristus (Homoousios) namun pasca Konsili Nicea, orang memperdebatkan Hypostasis (Pribadi) Yesus Kristus dalam hubungan-Nya dengan Bapa dan Roh Kudus dalam Trinitas. Orang kebingungan untuk menjelaskan siapa itu Pribadi Yesus yang dalam rumusan sebelumnya dikatakan sebagai sehakikat (Homoousios) dengan Bapa dalam kodrat Keallahan-Nya, namun pasca konsili Nicea orang mengangkat kembali bahwa Yesus Kristus Putera Allah ternyata adalah juga sungguh-sungguh manusia karena inkarnasi.[7] Pertanyaan yang muncul seputar permasalahan ini adalah, apakah Kodrat/Pribadi (Hypostasis) Kemanusiaan Yesus Kristus  adalah sesuatu yang terpisah dari kodrat Keallahan-Nya, sesuatu yang berdiri sendiri serta tidak berhubungan dengan kodrat Keallahan-Nya? Dan jika demikian apakah ini berarti bahwa Yesus Kristus memiliki dua pribadi/kodrat yang berbeda? Lalu apakah dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa Yesus Kristus memang bukan lagi satu melainkan dua karena kodrat/pribadi Allah dan kodrat/pribadi manusia-Nya?
            Pertanyaan-pertanyaan tersebut membingungkan banyak pihak, tidak terkecuali otoritas Gereja sebagai peletak dasar ajaran iman. Gereja di sisi lain berusaha untuk tetap mempertahankan hakikat keilahian Yesus (tanpa mengabaikan kodrat kemanusiaan-Nya), seperti yang dikemukakan oleh Athanasius yang kemudian menjadi rumusan iman (kredo) dalam Konsili Nicea, tapi di sisi lain Gereja dihadapkan dengan polemik baru yang berhubungan dengan kemanusiaan Yesus Kristus. Terminologi Hypostasis yang diangkat dalam perdebatan zaman itu mengakibatkan muncul permasalahan baru berkenaan dengan kodrat kemanusiaan Yesus Kristus karena dalam terminologi ini orang melihat sepertinya ada pemisahan antara kodrat Keallahan dan Kemanusiaan-Nya, yakni bagaimana menjelaskan bahwa Yesus yang sunguh-sungguh Allah (sehakikat dengan Allah), adalah juga sungguh-sungguh manusia.[8] Hal ini ada hubungannya dengan pernyataan dari kredo Konsili Nicea yang mengatakan bahwa Yesus Kristus Putera Allah berinkarnasi menjadi manusia. Karena itu, Kedua kodrat/pribadi (terminologi Hypostasis atau Ousia masih disejajarkan) Yesus Kristus menjadi perdebatan sengit saat itu. Hal ini memunculkan lagi ajaran-ajaran sesat baru yang berusaha untuk merumuskan ajaran iman agar bisa diterima oleh semua pihak pada zaman itu. Ada yang tetap berusaha untuk mempertahankan kodrat ilahi Kristus (pembela Athanasius dan kredo Nicea) tetapi di sisi lain menolak bahwa Yesus Kristus adalah juga manusia (salah satunya adalah Apollinaris) dan ada juga yang cenderung menekankan kodrat kemanusiawian-Nya dengan menolak kodrat Keallahan Kristus (salah satunya Photinius). Perdebatan ini pada akhirnya juga merembet pada peran Roh Kudus sebagai pribadi ketiga. Jika Yesus Kristus yang berinkarnasi di dunia dianggap hanyalah sebagai manusia biasa tanpa kodrat Keallahan-Nya, maka Roh Kudus sebagai pribadi ketiga juga bukan Allah.            
            Oleh sebab itu, Konsili Konstantinopel I diadakan untuk menjawab dan sekaligus melawan  aneka heresi (ajaran) dari sekte arianisme yang semakin berkembang luas pasca Konsili Nicea. Heresi-heresi ini juga nantinya akan dikutuk dalam salah satu kanon Konsili, khususnya dalam Kanon I. Heresi yang paling menonjol yang menyebabkan diadakannya Konsili Konstantinopel I adalah Apollinarianisme dan Pneumatomachi.[9]   
 Apollinarianisme[10]
            Heresi ini berasal dari Apollinaris, Uskup dan Teolog dari komunitas Nicea di Laodikia. Apollinaris adalah pembela kuat syahadat Nicea bersama dengan Athanasius. Ia melihat adanya bahaya pemisahan antara Ketuhanan dan kemanusiaan Kristus dalam pergumulan Kristologis pada zamannya, khususnya dalam gagasan yang dikembangkan oleh Eustathius.[11] Apollinaris melihat adanya dualisme yang memecah belah kesatuan pribadi Yesus Kristus, yang mana ia tetap memegang teguh ajaran Konsili Nicea bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati. Ia menuduh para lawannya mengajarkan adanya dua Putera dalam Yesus yaitu Putera Allah dan Putra Maria, sehingga yang pertama Putera Allah demi kodratnya sedangkan yang kedua hanya Putera Allah karena pengangkatan (adopsi). Apollinaris menentang pendapat ini dengan mengatakan bahwa Kitab Suci tidak mengenal dua Putera Allah. Ia meyakini bahwa Yesus yang dilahirkan oleh Maria dan kemudian disalib hanyalah seorang manusia dan bukan Allah.  Oleh sebab itu, ia menekankan pribadi Yesus Kristus sebagai pribadi yang mengingkarnasikan kodrat Ilahi dari Logos Ilahi dan sekaligus menyangkal jiwa insani yang terdapat dalam diri-Nya. Ia mengembangkan konsep Logos-Sarx (Sabda-Daging; Allah yang mengenakan daging), yang ditafsirkan dari Injil Yohanes, bagi pribadi Yesus. Apollinaris menyatakan bahwa Yesus tidak memiliki daya intelektual insani dan jiwa rasional manusia. Oleh sebab itu, menurut Apollinaris, Yesus hanya mempunyai satu kodrat yakni Kodrat Ilahi. Menurutnya, Tubuh Yesus tergantung sepenuhnya dari logos sebagai prinsip utama yang menuntunnya, Logos itu aktif sedangkan daging pasif. Jiwa rasional Yesus diganti oleh Sabda Allah. Tidak mungkin baginya bahwa Yesus kristus yang adalah ilahi mati di kayu salib karena jika hal itu terjadi, maka penebusan umat manusia tidak akan pernah terjadi karena logos ilahi juga turut mati bersama manusia Yesus yang tergantung di kayu salib. Jadi yang mati dan tergantung di kayu salib dan mati adalah manusia Yesus karena logos ilahi telah meninggalkan kemanusiaan-Nya.
Macedonianisme (Pneumatomachi)
               Sebelum Konsili Nicea, perdebatan mengenai Roh Kudus belum banyak mendapat perhatian dan pembahasan meskipun pada saat itu  telah  muncul  berbagai  opini yang masih kabur tentang subyek tersebut, misalnya pendapat dari Arius yang mengatakan bahwa Roh Kudus adalah sesuatu yang pertama diciptakan oleh Putera sebelum menciptakan makhluk-makhluk lainnya. Akan tetapi, permasalahan ini belum mendapat perhatian penuh dari otoritas Gereja karena Gereja masih berkutat pada persoalan Kritologis yang sedang marak saat itu, khususnya arianisme. 
               Namun  pasca Konsili Nicea, polemik tentang masalah Kristologis merembet ke masalah Trinitas yakni bagaimana menjelaskan hubungan Bapa, Putera dan Roh Kudus. Subordinasianisme dan monarkhianisme telah merintis polemik ini. Setelah perdebatan yang sengit tentang hubungan antara Bapa dan Putera, persoalan yang muncul selanjutnya adalah mengenai peranan Roh Kudus dalam Allah Tritunggal. Polemik ini mulai muncul ketika Macedonius, Uskup Kota Konstantinopel menyatakan bahwa Roh  Kudus adalah suatu ciptaan yang lebih rendah (subordinasi) daripada Putera (tunduk  terhadap Putera). Oleh sebab itu, aliran ini disebut juga dengan aliran pneumatomachi. Aliran ini kemudian dikembangkan dan dipimpin oleh Eusthatius dari Sebaste. Aliran ini mengatakan bahwa Roh Kudus tidak sehakikat dengan Bapa dan Putera karena hakikatnya yang diciptakan. Menurut aliran ini, Roh yang ada dalam Alkitab dibedakan dengan Bapa dan Putera. Roh Kudus hanyalah ciptaan Allah. Roh Kudus adalah zat tengah yang dijadikan Allah dengan kedudukan antara Allah dan alam ciptaan ini.    
 
Heresi-Heresi yang Juga dikutuk Dalam Konsili Kontantinopel                                                                                     
Semi-Arianisme
Ajaran semi-Arianisme ini pertama kali dicetuskan oleh Uskup Basilius dari Ankara. Kelompok ini menolak pandangan Arius yang mengatakan bahwa Kristus tidak memiliki kodrat ilahi melainkan hanyalah makhluk pertama dari antara makhluk ciptaan lainnya. Selain itu, aliran ini juga menolak ajaran ortodoks yang mengatakan bahwa Yesus Kristus sehakikat dengan Bapa (homoousios; same essence). Aliran Semi-arianisme menyatakan bahwa Yesus (Putra) itu dari hakikat yang serupa (Yun.homo-i-ousios; similar substance) dengan Bapa.
Eunomianisme (Anomeanisme)
Heresi ini dipelopori oleh Uskup Eunomius dari Cyzikus. Aliran ini disebut juga aliran ultra-Arianisme (Arianisme ekstrem). Aliran ini menyatakan bahwa Allah adalah hakikat yang pertama dan utama dari segala yang ada, yang tidak dilahirkan dan secara mutlak dapat dipahami. Putra adalah makhluk pertama yang diciptakan oleh Bapa dan tidak sehakikat dengan Bapa. Kemudian Roh Kudus diciptakan oleh Putra.
Sabellianisme
            Aliran sesat (bidaah) ini dicetuskan oleh Noetus dan Praxeas pada abad II. Aliran ini menolak ajaran yang mengatakan bahwa Bapa, Putera, dan Roh Kudus adalah pribadi yang berbeda. Menurut aliran ini, ketiganya (Bapa, Putera, dan Roh Kudus) hanyalah wujud atau cara yang digunakan Allah (yang satu) dalam tindakan penciptaan dan penyelamatan. Dalam keallahan ini hanya terdapat perbedaan dalam cara bekerja masing-masing oknum. Allah Bapa bekerja sebagai Pencipta dan Pemelihara. Setelah itu Allah bekerja sebagai penebus dalam diri Kristus, dan kemudian Allah bekerja sebagai penyuci dalam Roh Kudus.
Marcellianisme
               Aliran ini berasal dari Marcellus, Uskup Ancyra. Dia kembali meyakini  perbedaan  antara  Logos yang abadi  dan Logos impersonal  yang  terdapat  dalam hakikat Tuhan, yang menyatakan diri di dalam bentuk kekuatan ilahi dalam tata penciptaan. Menurut aliran ini, Logos mewujud dalam diri Yesus Kristus pada  saat  re-inkarnasi. Kelahiran tidak dapat diterapkan terhadap Logos yang tidak ada sebelumnya (pre-existent Logos) dan karena itu membatasi  penggunaan  nama  "Putera Allah"  hanya kepada  Logos yang berinkarnasi. Yesus Kristus (Logos) disebut sebagai Putera Allah hanya pada saat ia menjelma (berinkarnasi) dalam wujud manusia. Setelah itu, pada akhir masa hidup inkarnasinya, Logos akan kembali kepada hubungan dengan Bapa. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan antara Bapa dan Putera karena mereka telah mewujud dalam satu Allah. 
Photinianisme
            Heresi (bidaah) ini dipelopori oleh Photinius, Uskup Sirmium. Ia adalah pengikut Marcellus. Dalam penyataannya (mengikuti Teologi dari Marcellius), dia mengatakan bahwa Yesus Kristus, dimana Logos menyatakan kepenuhan-Nya, hanyalah manusia biasa. 

Rumusan Kristologis Untuk Menganggapi Ajaran Sesat yang muncul
            Rumusan Kristologis yang akhirnya menjadi kesepakatan bersama para konsiliaris, pertama-tama berasal dari rumusan beberapa tokoh Gereja yang menonjol. Rumusan Kristologis yang mereka rumuskan menjadi referensi bagi para konsiliaris yang berkumpul di Konstantinopel untuk merumuskan kredo (pernyataan iman), meskipun  tidak semuanya hadir sebagai peserta konsili. Sumbangan mereka tidak lain berupa pembelaan iman terhadap serangan bidaah yang muncul. Tokoh-tokoh tersebut adalah antara Athanasius dan Ketiga Bapa Kapadokia (Basilius Agung, Gregorius dari Nyssa dan Gregorius dari Nazianze).[12] Tentu saja titik tolak kerangka Kristologis yang disusun oleh tokoh-tokoh ini merupakan jawaban atas kontroversi yang berkepanjangan pasca-Syahadat Nicea. Persoalan utama yang disoroti ialah mengenai hakekat Roh Kudus, dan bagaimana kesatuannya dengan Bapa dan Putera. Berikut kami sajikan pandangan dan rumusan mereka.

1. Athanasius
            Athanasius, sejak Konsili Nicea, mempunyai andil yang besar dalam perumusan kristologis terutama yang kelak tertuang dalam Syahadat Nicea. Ia memperkenalkan juga secara baru istilah homo-ousios. Di dalam homo-ousios, Athanasius menitikberatkan tentang Ketuhanan Yesus Kristus dalam arti yang penuh, Ia sehakikat dengan Bapa. Selain itu, Athanasius juga menaruh perhatian khusus pada Roh Kudus. Rumusannya sangat membantu Gereja pasca Konsili Nicea, dimana persoalan tentang Roh Kudus gencar diperdebatkan. Athanasius menegaskan bahwa Roh Kudus bukanlah ciptaan. Roh Kudus juga adalah sehakekat dengan Bapa.[13] Selain itu, Roh Kudus menurutnya sama dengan Putera. Segala sesuatu yang dimiliki oleh Putera dimiliki juga oleh Roh. Pada titik ini kita dapat melihat bagaimana gambaran Trinitaris itu sudah mulai kelihatan sedikit lebih jelas. Athanasius mengembangkan Teologi Trinitas paling lengkap dibandingkan para pendahulunya.
            Dengan menekankan bahwa Bapa, Putera, dan Roh Kudus sehakikat, Athanasius dapat mengimbangi subordinasianisme yang terungkap dalam ajaran para heresi. Akan tetapi yang belum terungkap dengan jelas dalam pendirian Athanasius ini ialah perbedaan antara ketiga Pribadi Ilahi. Ketiga orang kapadokialah yang akhirnya melakukan refleksi ini lebih lanjut.

2. Para Bapa Kapadokia (Gregorius Nyssa, Gregorius Nazianze, dan Basilius Agung)
            Rumusan Trinitaris yang telah muncul berkat sentuhan Athanasius, kemudian dilengkapi dan diformulasikan secara teknis oleh para Bapa Kapadokia ini. Ketiga tokoh ini memfokuskan diri pada identifikasi masing-masing dari ketiga pribadi Tritunggal. Mereka sekaligus mengoreksi penggunaan terminologi Hypostasis dan Ousia yang digunakan secara sinonim dalam Konsili Nicea. Identifikasi itu dilakukan dengan pembatasan istilah pada kata ousia yang ditetapkan sebagai Hakekat (Allah) dan hypostatis ditetapkan sebagai Pribadi.[14] Oleh mereka, ketiga pribadi (Bapa, Putera dan Roh Kudus) diberi kekhasannya sendiri, yakni Bapa sebagai asas dan dasar, Putra Sang pelaksana dan Roh Kuduslah yang mengakhiri atau menyelesaikan pekerjaan itu.[15] Pada identifikasi dari tiap pribadi itu ditemukan suatu titik kesamaan yakni semuanya bergerak dalam “Karya Allah”. Di sinilah letak keunggulan rumusan Trinitaris dari Bapa Kapadokia ini, yaitu mereka berhasil menunjukkan dengan cemerlang ajaran sekaligus mempertahankan kesatuan (hakekat) maupun kekhasan dari masing-masing pribadi terlebih dalam kerangka penyelamatan Allah. Kelak rumusan yang penting inilah yang dijadikan dasar penjelasan Roh Kudus dalam Syahadat Konsili Konstantinopel I.

Kredo Dalam Konsili Konstantinopel I
Kredo (pengakuan iman) Konsili Kanstantinopel I mucul sebagai reaksi atas Ajaran sesat (Heresi) yang menolak Keallahan Roh Kudus (Pneumatomachi). Kredo ini berusaha untuk merumuskan (dan sekaligus memperluas) bagian ketiga dari Kredo Konsili Nicea, khususnya berkaitan dengan Roh Kudus. Oleh Sebab itu, Kredo yang terdapat dalam Konsili Konstantinopel I ini disebut juga Kredo (Syahadat) Nicea-Konstantinopel.[16] Selain memperluas ajaran iman mengenai Roh Kudus, Konsili ini juga menambahkan beberapa bagian dari Kredo Konsili Nicea untuk mempertegas kembali hubungan antara Bapa dan Putera, sekaligus sebagai reaksi atas heresi apolinarianisme, semi-Arianisme, dan beberapa heresi yang sudah disebutkan di atas.[17] Kredo iman dalam konsili Konstantinopel I ini menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah sungguh-sunguh Allah karena ia kodrat-Nya dilahirkan dari Allah dan sungguh-sungguh Manusia karena inkarnasi-Nya ke dalam dunia.
Dalam uraian ini, akan ditunjukkan juga Kredo yang berasal dari Konsili Nicea sebagai pembanding kredo yang terdapat dalam Konsili Konstantinopel I.

Kredo Konsili Nicea[18]
Kami percaya akan satu Allah Bapa yang Mahakuasa, pencipta segala sesuatu, baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan. Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, satu-satu-Nya yang dilahirkan, dilahirkan dari Bapa, dari substansi Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar, dilahirkan bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa, melalui-Nya segala sesuatu dijadikan, baik yang di Sorga dan yang ada di bumi, bagi kita dan untuk keselamatan kita umat manusia, Ia turun dan berinkarnasi, menjadi manusia, menderita dan bangkit sampai pada hari ketiga, naik ke Sorga, akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.
Dan akan Roh Kudus.

Kredo Konsili Konstantinopel I[19]
Kami percaya akan satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dan akan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan. Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal; Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar, dilahirkan bukan dijadikan, sehakikat dengan bapa, segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. Ia turun dari surga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, dan Ia menjadi daging oleh Roh Kudus dari perawan maria, dan menjadi manusia, Ia pun disalibkan untuk kita pada waktu Ponsius Pilatus, Ia sengsara dan dimakamkan, pada hari yang ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci, Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa, Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati, Kerajaan-Nya tak akan berakhir.
Dan akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan, Ia berasal dari Bapa, Yang serta Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan, Ia bersabda dengan perantaraan para nabi. Akan Gereja yang satu, kudus, Katolik dan apostolik. Kami mengakui satu baptisan akan penghapusan dosa. Kami menantikan kebangkitan orang mati dan hidup di akhirat. Amin.

Catatan Penulis
1.      Tambahan pada alinea pertama pada rumusan yang menunjukkan hubungan Bapa dan Putera dirumuskan untuk melawan heresi Apollinarianisme yang secara tegas menyangkal kemanusiaan Kristus dan inkarnasinya dari Sabda menjadi manusia.  Oleh sebab itu ditambahkan beberapa rumusan yang tidak terdapat dalam Kredo NiceaIa turun dari surga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita (Inkarnasi Kristus yang menjadi manusia dan bahwa Dia sungguh-sungguh manusia menurut kodrat kemanusiaan-Nya), dan Ia menjadi daging oleh Roh Kudus dari Perawan Maria, dan menjadi manusia, Ia pun disalibkan untuk kita pada waktu Ponsius Pilatus, Ia sengsara dan dimakamkan pada hari yang ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci, Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa, (bahwa yang menderita sengsara, wafat dan bangkit adalah sungguh-sungguh Yesus Kristus dengan kodrat Ilahi dan manusiawinya) Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati (Bahwa yang akan kembali lagi nantinya, pada akhir zaman, adalah Kristus yang sama dengan Kristus sebelum sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya), Kerajaan-Nya tak akan berakhir.
2.      Tambahan pada rumusan Roh Kudus dalam Kredo Konstantinopel ini dirumuskan untuk melawan aliran sesat (heresi) Pneumatomachi yang menyangkal ketuhanan Roh Kudus dalam Allah Tritunggal. Konsili menegaskan bahwa Roh Kudus sehakikkat dengan Bapa dan Putera (Homoousios).
3.      Selain mengutuk kedua heresi di atas, rumusan Kredo Konstantinopel ini juga mengutuk heresi-heresi lainnya yang berusaha menolak kesatuan hakikat antara Bapa, Putera dan Roh Kudus, terlebih beberapa heresi yang menekankan subordinasi antara Bapa, Putera, dan Roh Kudus.

Kanon-Kanon Hasil Konsili Konstantinopel I (381)
Latar Belakang Kanon
Para konsilier yang terlibat dalam Konsili Konstantinopel I pada akhirnya mengeluarkan kanon-kanon penting terutama yang berhubungan dengan persoalan yang dihadapi Gereja saat itu. Kanon yang dikeluarkan oleh ke-150 uskup ini sangatlah kontekstual, sebab selain berbicara tentang bidaah yang muncul, konsili ini juga berbicara tentang hubungan antara Gereja Barat dan Timur sendiri. Ini berarti polemik yang dibicarakan sekaligus mencakup urusan internal dan eksternal Gereja.
Secara garis besar kanon yang muncul dalam Konsili Konstantinopel I membicarakan dua hal umum yang terpisah. Keempat kanon pertama (Kanon 1-4)[20] secara tegas berisi otoritas Gereja yang menyerukan kembali iman Gereja menurut Konsili Nicea dan dengan tegas pula menolak berbagai macam aliran sesat.[21] Kanon selanjutnya berbicara tentang penegasan dekrit-dekrit dalam kanon pertama hingga keempat kepada Gereja Barat dan sekaligus lebih banyak berbicara tentang hubungan keduanya.
Kelahiran kanon-kanon ini untuk selang waktu yang cukup lama masih diperbincangkan keotentikannya. Naskah-naskah Yunani kuno dan juga para komentator kuno Yunani (Zonaras dan Balsamon) menyebutkan ada tujuh kanon sebagai hasil dari konsili ekumenis ini, namun terjemahan dari naskah Latin Kuno (Dionisius dan Isodorus) yang bersumber dari Prisca, Naskah Luna, hanya menyebutkan keempat kanon pertama saja sebagai kanon yang otentik dari Konsili Konstantinopel I, 381.
Menurut Dionisius dan Isodorus ada kemungkinan bahwa kanon yang menyusul setelah keempat kanon pertama itu adalah tambahan kemudian, dan memang bukan murni sebagai hasil konsili tahun 381. Bahkan kanon ketujuh, ada kemungkinan bukan berasal dari konsili ini, sebab menurut seorang kolektor pada abad keenam (John Scholasticus) tidak ditemukan kanon ketujuh dalam koleksinya, meskipun kanon kelima dan keenam turut diadopsinya. Ada kemungkinan bahwa kanon ini pernah hilang. Namun yang jelas para ahli berusaha keras untuk menyelidiki keotentikan kanon-kanon tersebut dengan merujuk pada waktu dan proses terjadinya. Namun yang jelas kanon kelima dan keenam kemungkinan berasal dari sebuah sinode yang diadakan para uskup setempat di Konstantinopel pada tahun berikutnya (382).
            Berikut ini kanon-kanon hasil Konsili Konstantinopel I beserta beberapa keterangan (diskursus) penting berkaitan dengan lahirnya kanonkanon tersebut.

Kanon 1
Pengakuan iman dari ke-318 uskup yang menghadiri Konsili Nicea di Bithyania (Turki pada 325) tidak dapat dibatalkan, melainkan tetap berlaku. Dan setiap heresi yang muncul dikutuk, khususnya dari aliran Eunomian (Aanomæan) atau Eudoxian, Semi-Arian atau Pneumatomachi, Sabellian, Marcellian, Photinian dan Apollinarian.[22]
Diskursus Kanon 1:
            Keterangan mengenai heresi yang muncul, dapat dilihat pada bagian “latar belakang politis”.

Kanon 2
Para uskup tidak dapat pergi melebihi wilayah keuskupan mereka terlebih ke gereja-gereja diluar batas wilayahnya, dan juga tidak boleh membuat kebingungan di dalam gereja, namun demikian uskup Alexandria sebagaimana yang ditetapkan dalam kanon, dengan sendirinya mengatur urusan di Mesir dan para uskup di Timur mengatur urusannya sendiri. Secara khusus hak istimewa bagi Gereja di Antiokhia sebagaimana yang disebutkan dalam Kanon Nicea. P Demikian juga para uskup di Asia mengatur urusannya sendiri, dan para uskup di Pontus mengatur urusannya sendiri juga para uskup di Thracian hanya mengatur urusannya sendiri. Para uskup tidak boleh pergi melebihi wilayah keuskupan mereka dalam rangka tahbisan atau tugas-tugas Gereja lainnya, kecuali mereka diundang. Dan sebagaimana yang disebutkan dalam kanon mengenai hal-hal yang perlu ditinjau di dalam keuskupan, sangat jelas bahwa sinode di setiap provinsi hanya mengatur semua urusan dari tiap-tiap provinsi sebagaimana yang ditetapkan dalam Konsili Nicea. Namun Gereja Allah di antara bangsa Barbar (orang kafir) harus diatur menurut tata cara yang berlaku sejak zaman Bapa Gereja.
Diskursus Kanon 2:
Aturan dalam kanon ini rupanya disusun terutama atas laporan terhadap kerja Meletius Uskup Anthiokia, Gregorius Nazianse dan Petrus dari Alexandria. Pada saat itu Meletius sebagai Uskup Anthiokia meninggalkan keuskupan di Barat untuk pergi ke Konstantinopel dalam rangka pentahbisan Gregorius. Dan Gregorius sendiri telah meninggalkan Keuskupan Sasima, salah satu keuskupan di wilayah Pontic untuk pindah ke Konstantinopel. Dan sementara itu Petrus dari Alexandria mengirim ke Kontantinopel tujuh Uskup dari Mesir untuk mentahbiskan Maximus sebagai uskup Konstantinopel. Kekacauan inilah yang menjadi alasan utama sinode para uskup dalam menetukan batas kerja atau wilayah kekuasaan uskup.[23]
Perlu juga diketahui bahwa dahulu semua keuskupan metropolis memiliki para pemimpinnya sendiri dan mereka itu ditahbiskan berdasarkan sinode di keuskupan mereka. Namun dengan tegas kanon ini memutuskan bahwa semua uskup di seluruh keuskupan, entah itu Keuskupan di Alexandria, Asia, dan Thrace, dan semua keuskupan yang disebut di dalam kanon ini, haruslah ditahbiskan oleh Uskup Agung Konstantinopel dan berdasarkan keputusannya pula.[24]

Kanon 3:
Uskup Konstantinopel, bagaimanapun, hanya mempunyai hak istimewa atau kehormatan setelah Uskup Roma, karena Konstantinopel adalah Roma baru.
Diskursus Kanon 3:
            Harus dipahami bahwa kanon ini sangat penting, terutama untuk menunjukkan bahwa kanon ini tidak mempengaruhi kekuasaan tertinggi di Roma, namun ini lebih menekankan tentang batas-batas kekuasaan istimewa Konstantinopel dan juga Anthiokia, yang tetap berada di bawah kuasa Roma. Ketika Paus pada awalnya menolak untuk mengakui keabsahan dari kanon ini, ia merujuk pada apa yang telah ditetapkan oleh Konsili Nicea, bahwa tradisi yang telah lama dijalankan (Gereja Roma yang paling utama dan pertama) harus tetap dilanjutkan. Itulah mengapa kekuasaan yang sangat tinggi tetap berada di Roma (Old Rome) dan apabila ada kuasa khusus atas keuskupan lain (Konstantinopel, khususnya wilayah timur), ia tetap tidak mengalahkan kuasa Roma yang sesungguhnya, karena itulah Konstantinopel disebut Roma baru (New Rome).[25]
            Dalam Konsili ini, para konsiliaris memberi perhatian lebih pada Konstantinopel, terutama untuk menjadi semacam penyatu di antara Gereja Timur. Maka dari itu kanon ini menegaskan tentang hak istimewa yang diterimanya, juga perioritasnya yang lebih tinggi, sehingga kemuliaanya disamakan dengan Roma, namun ia tetap “Roma Baru” atau Roma kedua.[26]

Kanon 4:
Mengenai Maximus yang dikenal juga sebagai “pengejek” (Maximus of Cynic) dan selalu membuat kekacauan seperti yang terjadi di Konstantinopel, keputusannya ialah bahwa Maximus tidak dianggap dan ia bukan lagi seorang uskup, siapa saja yang ditahbiskan olehnya tidak termasuk dalam klerus, dan semua yang dilakukan tentang dia dan oleh dia dinyatakan tidak sah.
Diskursus Kanon 4:
            Maximus adalah seorang warga asli kota Alexandria dengan latarbelakang keluarga yang tidak jelas. Ia berbual bahwa keluarganya telah menjadi martir. Kemudian ia mendapat pengarahan dasar tentang iman kristen dan dibaptis. Dengan cara yang aneh ia mengkombinasikan ajaran Kristiani dengan filsafatnya sendiri. Untuk waktu tertentu ia menjadi dewan filsuf yang juga ambil bagian dalam mengembangkan syahadat iman dari Konsili Nicea. Sejak itu ia mempunyai kepentingan di dalam Gereja.
            Pada masa Kaisar Valen, Maximus dibuang ke Oasis. Namun sekembalinya dari pembuangan ia mengunjungi Konstantinopel, dimana Gregorius baru saja diangkat menjadi Uskup Agung Konstantinopel. Awalnya Gregorius menerima Maximus dengan penuh hormat. Namun, lambat laun Gregorius menaruh kecurigaan padanya dan membencinya. Situasi keuskupan menjadi kacau. Mengambil kesempatan yang demikian, Maximus meminta Petrus dari Alexandria, untuk mentahbiskannya sebagai Uskup Konstantinopel. Tentu saja ini tidak sah.
            Hal ini tentu saja menyulut kemarahan di antara umat, terlebih mereka yang pro-Gregorius. Akhirnya, Maximus dihakimi dan diusir dari Konstantinopel. Untuk selanjutnya konsili ini menolak semua pengajuan banding yang dilakukan olehnya dan menetapkan kanon ini demi penghentian ajaran dan gerak uskup Maximus dan pengikutnya.





Kanon 5[27]:
Mengenai buku (hasil konsili) dari Barat (para uskup), kami menerima hal ini di Antiokhia, dan sekaligus juga mengakui kesatuan Keallahaan dari Bapa dan Putera dan Roh Kudus.
Diskursus Kanon 5:
            Hampir pasti menurut Hafele, kanon ini tidak berasal dari Konsili Ekumene di Konstantinopel pada 381. Kemungkinan besar kanon ini merupakan tanggapan kemudian atas kanon yang dibahas pada tahun sebelumnya (artinya kanon ini muncul pada tahun berikutnya, 382). Tentu saja Buku dari Barat ini merupakan ajaran dogmatik dari para uskup barat, terutama berkaitan dengan penjelasan iman dalam syahadat yang masih kerap kali dikacaukan oleh serangan heretik. Para uskup di Anthiokia (timur), menyepakati tentang rumusan syahadat yang mengakui kesatuan Keallahaan dari Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Hal ini tentu saja sangat postif sebab menjadi semacam kesamaan penghayatan di dalam tubuh Gereja (Barat dan Timur), dan tentu untuk membendung seranggan bidaah yang tetap menolak kutukan (anathema) sebagaimana yang dicantumkan dalam kanon I.

Kanon 6:
Ada banyak orang yang cenderung membingungkan dan menjungkirbalikkan tatanan Gereja, melakukan perdebatan dan mengarang fitnah menuntut untuk melawan para Uskup Ortodox yang mempunyai wewenang pengaturan atas gereja-gereja, dengan tujuan untuk menodai reputasi para imam dan menimbulkan kekacauan di antara umat awam yang penuh kedamaian, karena itulah sinode kudus para uskup yang berkumpul di Konstantinopel tidak akan menerima para pendakwa tersebut tanpa pemeriksaan sebelumnya, dan tidak membiarkan setiap orang untuk membawa tuduhan pada para pengurus Gereja, atau dengan kata lain, tidak menerima mereka semua. Dengan demikian, setiap orang yang membawa keluhan pribadi melawan uskup, baik yang berhubungan dengan urusan pribadinya, sebagai contoh jika dia telah ditipu, atau diperlakukan secara tidak adil, dalam beberapa dakwaan tersebut tidak akan ada  pemeriksaan yang dilakukan, baik sebagai urusan pribadi maupun institusi (agama), untuk hal ini dalam semua keperluan, para Uskup hendaknya memiliki hati nurani yang bebas, sehingga siapa saja yang melakukan kesalahan harus diadili dengan pengadilan yang benar, juga apapun agamanya. Tetapi, jika tuduhan yang ditujukan untuk melawan uskup datang sebagai serangan gerejawi, maka perlu untuk memeriksa dengan sangat cermat orang-orang yang berurusan ini, sehingga pada tempat yang pertama, heresi yang muncul tidak sampai menjadi serangan terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan urusan gerejawi terlebih melawan para Uskup Ortodox. Dan segala heresi yang kami maksudkan sekaligus adalah mereka yang sejak awal sudah dikeluarkan dari Gereja dan mereka yang telah dikutuk dan juga mereka yang mengaku memiliki iman yang benar namun memisahkan diri dari kanon para uskup, dan menyusun pengakuan yang bertentangan. Selain itu, mereka yang telah dikutuk atas kesalahan mereka dan dikeluarkan dari Gereja atau diekskomunikasi baik dari kalangan klerus atau awam, tidak diperbolehkan untuk membawa tuduhan apa pun bagi para uskup, sampai mereka dibersihkan dahulu dari tuduhan yang dijatuhkan bagi mereka. Demikian pula, mereka yang sudah didakwa tidak diizinkan untuk mendakwa seorang uskup atau klerus lainnya, sampai mereka telah terbukti tidak bersalah dari kejahatan yang ditujukan bagi mereka. Namun bila orang yang tidak termasuk bidaah, tidak diekskomunikasi, tidak dihukum, tidak juga tertuduh sebelumnya sebagai pembuat kesalahan, menyatakan bahwa mereka mempunyai tuduhan gerejawi melawan uskup, Sinode Kudus memerintahkan bahwa mereka pertama-tama harus meletakkan tuduhan mereka sebelumnya pada semua uskup di wilayahnya sebelum mereka membuktikan tuduhan tersebut, dan memberikan bukti yang sesuai dengan tuduhan yang dibawa pada uskup yang dimaksud. Dan apabila uskup dari provinsi tidak mampu secara benar untuk membenahi tuduhan yang ditujukan padanya, maka para konsiliaris harus mengadakan sebuah sinode yang lebih besar dan para uskup dari tiap keuskupan dipanggil untuk kasus ini, dan mereka yang menuduh tidak boleh membuat pernyataan sampai ada janji tertulis, mereka akan mendapatkan hukuman yang sama jika mereka kedapatan bersalah karena membuat tuduhan palsu. Dan apabila ada orang yang memandang rendah apa yang dinyatakan di atas, dan menganggapnya mengganggu telinga kaisar, atau pengadilan sekuler yang berwenang, serta tidak menghormati semua uskup di provinsinya, dan juga menyebabkan kekacauan pada Sinode Ekumenis ini, maka orang demikian tidak diperkenankan menjadi seorang pendakwa, sebab ia telah menghina kanon dan melanggar tatanan yang baik dari Gereja.


Diskursus Kanon 6:
            Ungkapan tentang mereka yang telah dikeluarkan dari Gereja, harus dimengerti sebagai mereka yang sama sekali telah tidak ada lagi kaitannya dengan Gereja. Sedangkan yang dimaksudkan dengan mereka yang dieksomunikasi adalah mereka yang, entah klerus atau awam, tidak lagi berada dalam persatuan dengan Gereja untuk jangka waktu tertentu.[28]
            Perlu diketahui bahwa seseorang yang mengalami reputasi yang buruk ataupun ia menderita banyak penganiyayaan, ia dapat membawa tuntutannya kepada uskup. Namun jika itu berkaitan dengan urusan Gerejawi, ia tidak diperkenankan untuk bicara terlebih dahulu, sebelum ada perintah untuk berbicara lewat pemeriksaan sebelumnya. Juga jika yang membawa tuntutan adalah dari Gereja Ortodox, hal itu dapat didengarkan oleh pemimpin provinsi setempat. Namun, jika sinode yang dilakukan tidak dapat memutuskan perkara itu, haruslah diadakan sinode yang lebih besar. Sinode itu tidak lagi mendengarkan segala macam tuntutan, namun meminta deklarasi tertulis tentang pertanggungjawaban atas penderitaan dan persoalan yang dihadapi. 

Kanon 7:
Mereka yang berasal dari golongan bidaah dan pindah ke Ortodox, dan bergabung dengan kelompok yang diselamatkan (Gereja), kami menerima mereka sesuai dengan cara dan tradisi yang sesuai, mereka misalnya kaum Arian, Macedonian, Sabbatian, dan Novatian yang juga menyebut diri mereka sebagai Chatari atau Aristeri dan Quarto-deciman atau Tetradites, dan kelompok Appolinarian, kami terima mereka ketika mereka memberikan sebuah penolakan tertulis (atas kesalahan mereka) dan mengutuk setiap heresi yang tidak sesuai dengan Gereja Allah yang Kudus, Katolik dan Apostolik. Kemudian, mereka dimateraikan dengan Minyak Kudus di dahi, mata, hidung, mulut dan telinga, ketika kami memateraikan mereka, kami berkata, “ Materai karunia dari Roh Kudus”.  Tetapi, aliran Eunomian, yang membabtis dengan satu pencelupan, dan Montanis yang disebut Phrygians, dan Sabellian yang mengajarkan identitas dari Bapa dan Putera  dan juga berbagai macam hal yang jahat, dan semua heresi (hampir semua berasal dari daerah Galatia), semuanya itu ketika mereka berkeinginan untuk bergabung dalam kesatuan Gereja, kami menerima mereka sebagai orang kafir. Pada hari pertama mereka akan kami jadikan sebagai Orang Kristiani, pada hari kedua mengajarkan katekumen, pada hari ketiga kami mengusir mereka dengan menghembuskan udara sebanyak tiga kali di wajah dan kedua telinga, dan kami melatih mereka serta mengharuskan mereka untuk menghabiskan waktu di dalam Gereja untuk mendengarkan Kitab Suci dan setelah itu, kami membabtis mereka.
Diskursus Kanon 7:
            Kanon ini kemungkinan besar tidak berasal dari Konsili Konstantinopel pada 381 atau Sinode yang menyusul di tahun berikutnya. Dari isinya, kanon ini sangat dipengaruhi oleh hasil Konsili Konstantinopel (soal heresi) dan merupakan tanggapan lanjut dari sikap Gereja terhadap mereka (bidaah) yang ingin kembali ke pangkuan Gereja. Menurut para ahli, kanon ini ditulis sekitar pertengahan abad ke-4, dan ditujukan kepada Uskup Martirius dari Antiokia. Namun demikian Gereja menempatkannya sebagai salah satu kanon resmi hasil Konsili Ekumenis kedua.
            Dalam kanon ini, dengan berbagai cara (tentunya berdasarkan Tradisi), Gereja menerima kembali mereka yang ingin bersatu dalam kesatuan Gereja yang satu, Kudus dan Apostolik. Tata rumusan penerimaan dipengaruhi juga dari sekte atau sesatan mana mereka berasal. Ada beberapa kelompok bidaah yang masih dianggap kafir (dari Galatia), mereka itu harus melewati semacam upacara baptis.

Implikasi dan Relevansi
            Meskipun Konsili Konstantinopel I telah terjadi 16 abad yang lalu, bukan berarti aneka perumusan dari para konsiliaris tidak berbicara lagi di zaman ini. Berbagai macam persoalan iman khususnya mengenai rumusan Trinitaris masih sering menjadi topik hangat baik dalam lingkup intern Gereja maupun dari pihak luar. Rumusan Trinitaris atau  rumusan mengenai hakekat dan pribadi Yesus memang secara definitif berhenti dalam aneka macam teori. Akan tetapi dalam pewartaan konkret, persoalan ini kerap membingungkan umat Kristiani sendiri.
            Berkaitan dengan persoalan ini, kami melihat ada beberapa hal yang penting diperhatikan dalam pewartaan iman bagi manusia dewasa ini . Manusia modern ditandai dengan dominasi budaya instan dan kerap tidak mendasarkan diri pada sejarah. Dalam hal iman, sikap kritis kurang diperhatikan lagi. Hidup rohani seringkali hanya berhenti pada rumusan liturgis saja tanpa adanya keingintahuan untuk mengerti esensi iman serta bagaimana perjalanan Gereja dalam berbenahdiri dari zaman ke zaman. Hal inilah yang sering melemahkan umat Kristiani ketika ditantang oleh doktrin atau ajaran lain.
  1. Dewasa ini, khususnya di Gereja Indonesia, umat belum dibiasakan untuk mengenal secara mendasar pokok iman Gereja. Umat hanya sebatas mengerti rumusan tetapi tidak dalam makna atau arti tafsiran dasar iman itu. Misalnya pengetahuan umat yang minim akan Syahadat Panjang. Umat dibiasakan dengan menghafal Syahadat Pendek (Para Rasul) dengan alasan praktis saja. Sesungguhnya rumusan iman dalam Syahadat Panjang memberikan pemahaman yang jauh lebih lengkap terhadap persoalan Trinitaris. Dengan mengetahui rumusan tersebut, umat tentu lebih menangkap tentang peran dari Bapa, Putera dan Roh Kudus yang mereka imani. Ini membantu mereka ketika iman Katolik dipertanyakan oleh pihak yang menuduh Gereja menyembah tiga Allah yang berbeda (Politeisme).
  2. Iman Kristiani semakin dipertanyakan di tengah dunia modern dewasa ini. Persoalan yang diperdebatkan tidak lagi berbicara tentang hal-hal yang remeh-temeh namun sampai pada hal fundamental dalam iman kita. Karenanya perlu diusahakan model katekese yang baru yang menonjolkan gema historisitas di dalamnya. Mengapa historisitas penting, sebab kegagalan pemahaman iman juga tidak lepas dari minimnya pengetahuan umat tentang jatuh bangun Gereja dalam mempertahankan imannya. Hasil-hasil konsili Gereja kerap berhenti di dalam dokumen-dokumen saja. Isinya jarang dipublikasikan pada umat. Atau jikapun ada, dalam porsi yang sangat sedikit. Hal inilah yang menyebabkan umat hanya tahu dan paham rumusan atau formulasi iman saja. Model katekese yang selain mengajarkan pokok iman namun sekaligus menceritakan latar belakang historisitasnya akan memberi gambaran pada umat dalam apologi-apologi iman yang akan mereka hadapi juga dalam dunia ini. Gereja harus selalu bersandar pada sejarah, sebab aneka heresi terus muncul dalam rupa yang lebih halus dan tidak terduga.
  3. Bagi kalangan petugas pastoral khusunya calon imam, aneka tanggungjawab pembelaan imam harus disadari sebagai alasan utama dari tugas kegembalaannya. Pendidikan formal yang diperoleh harus diimplikasikan dalam realitas Gereja saat ini. Para petugas pastoral tidak pernah bertindak atas namanya sendiri, melainkan atas nama Gereja. Oleh karenanya, semua pelayan pastoral harus mendasarkan diri pada perjalanan Gereja selama dua millenium ini. Imam dalam tritugas kegembalaannya harus selalu berpijak pada dasar-dasar iman tersebut. Tanpanya, Gereja akan terus jatuh pada persoalan yang sama. Apa yang diajarkan oleh Magisterium dan Tradisi pada zaman yang lampau adalah kekayaan Gereja untuk terus berkembang dalam melintasi perubahan zaman.

Penutup
Berakhirnya Konsili Konstantinopel I tentu saja bukan akhir dari seluruh refleksi teologis Gereja khususnya dalam persoalan Trinitas. Sebaliknya apa yang dirumuskan dalam Syahadat Konstantinopel membuat Gereja terus berjuang untuk mengembangkan interpretasinya yang juh lebih dalam. Lepas dari itu semua, hasil sinode ekumene kedua ini telah mengubah wajah Gereja. Athanasius dan ketiga Bapa Kapadokia dapat dikatakan sebagai ujung tombak penggagas rumusan Trinitaris yang lebih sempurna. Karena mereka persoalan terminologi yang kacau dapat dipecahkan dan mengurangi kecenderungan akan kelirunya interpretasi iman dalam tubuh Gereja. Selain itu gagasan yang dimunculkan dalam kanon-kanon membuat Gereja tampak lebih kokoh khususnya dalam persatuan dengan Gereja Roma. Persoalan tentang kedudukan dan tugas para uskup diperbaharui kembali. Sikap Gereja terhadap para bidaah yang dikucilkan dan yang mau kembali kepangkuannya, diatur sedemikan rupa. Namun demikian wajah Gereja masih akan terus diperbaharui. Dalam hal ini Konsili Konstantinopel I mempunyai peran yang luar biasa khususnya bagi konsili selanjutnya.











KEPUSTAKAAN
Dister, Nico Syukur OFM. Teologi Sistematika 1. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
Heuken, A, SJ. Ensiklopedi Gereja (Jilid III). Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. 1993.
Kristiyanto, Eddy, OFM. Gagasan yang Menjadi Peristiwa. Yogyakarta: Kanisius. 2002.
Percivial, Henry R. M.A.D.D. The Seven Ecumenical Councils Of The Undivided Church. Michigan: Grand Rapids. 1991.
Taner, Norman P (ed). Decrees Of The Ecumenical Councils (Vol. I). London: Sheed & Ward Limited. 1990.
Wellen F.D. Kamus Sejarah Gereja (Cetakan IV). Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 2006.




[1] Doktrin Gereja mengenai Allah Tritunggal pada awal mulanya juga tidak sempurna. Hal ini tampak dari penjelasan beberapa Teolog yang mencoba menjelaskan dengan formula mereka sendiri yang pada akhirnya memancing pro dan kontra dari banyak pihak. Salah satunya adalah Origenes. Dalam pemahamannya mengenai Allah Tritunggal, Ia menekankan subordinasi yang tegas dari Putera kepada Bapa, dan dari Putera kepada Roh Kudus (Bdk. Eddy Kristiyanto OFM, Gagasan Yang Menjadi Peristiwa, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm., 35).
[2] Gereja universal dalam sejarah Gereja awal juga meliputi Gereja Katolik Timur karena sebelum terjadi perpecahan dalam tubuh Gereja (atau yang lebih dikenal dengan Skisma Timur, 1054), Gereja Katolik Timur masih mengakui Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik.
[3] Menarik apa yang dikatakan oleh Gregorius dari Nazianze pada saat ia membela ajaran Gereja Katolik untuk menentang aliran pneumatomachi yang berusaha untuk memecahkan misteri Allah Tritunggal untuk dipahami dalam ranah pemikian manusia. “Katakanlah kepada ku apa artinya bahwa Bapa tidak dilahirkan, maka aku akan menjelaskan kepadamu apa artinya bahwa Putra dilahirkan dan Roh Kudus dihembuskan. Akan tetapi, dengan berbuat demikian, kita berdua kiranya kurang waras jika seandainya dengan kepengin tahu kita mengintai ke dalam misteri Allah” (Dr. Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 1, Yogyakarta: Kanisius, 2004 hlm. 278). Pendapat ini hanya mau menegaskan bahwa misteri Allah tidak sepenuhnya mampu dijangkau oleh pemikiran manusiawi.
[4] Henry R. Percivial, M.A.D.D., The Seven Ecumenical Councils Of The Undivided Church, Michigan: Grand Rapids, 1991, p. 162.
[5] Para Sejarawan Roma mengatakan demikian:”Selain St. Gregorius dari Nyssa dan St. Petrus Sebastianus, di Konstantinopel berkumpul para Uskup dan Kardinal yang sangat luar biasa baik dari cara hidup mereka, kesucian, kemasyuran, pengetahuan yang sangat berguna bagi keselamatan iman mereka. mereka adalah St. Amphilochius dari Iconium, Helladius dari Kaisarea, Optimus dari Antiokhia di Pisidia, Diodorus dari Tarsus, St. Pelagius dari Laodicea, St. Eulogius dari Edessa, Acacius dari Berea, Isidorus dari Cyrus, St Sirilus dari Yerusalem, Gelasius dari Kaesarea di Palestina, Vitus dari Carres, dan Otreius dari Melitina dan masih banyak lagi nama-nama lainnya, yang mana mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam sejarah”. (ibid., p. 163)
[6] Biasanya kedua terminologi ini diterjemahkan dengan kata pribadi.
[7] Hal ini bisa dipahami karena pada zaman itu ada dua mazhab yang berkembang pesat dengan ajaran iman yang masing-masing berusaha untuk mempertahankan kodrat kemanusiaan dan keallahan Yesus Kristus. Mazhab Antiokhia dengan tegas mendasarkan ajaran imannya bahwa Yesus Kristus juga adalah sungguh-sungguh manusia sedangkan Mazhab Aleksandria dengan tegas mengatakan bahwa Yesus Kristus Putera Allah adalah sehakikat dengan Allah. Namun bahaya ekstrem dapat muncul jika masing-masing mazhab mempertahankan masing-masing rumusannya tanpa mau saling terbuka karena hanya dengan menerima salah satu dari rumusan iman ini dan menolak yang lain maka akan jatuh dalam ajaran sesat.
[8] Pasca Konsli Nicea, orang dibingungkan lagi dengan konsep baru yang menekankan bahwa Yesus Kristus Putera Allah adalah juga manusia (konsep Sabda-manusia ini digagas pertama kali oleh Eustathius). Sebelumnya mereka menerima secara penuh bahwa Yesus Kristus hanyalah Allah seperti yang digagas oleh Athanasius (meskipun dengan maksud ini sebenarnya Athanasius tidak bermaksud menghilangkan kodrat kemanusiaan Kristus). Lalu muncul persoalan ketika kembali digagas bahwa Yesus Kristus adalah juga manusia. Kodrat/pribadi yang sepertinya baru ini memunculkan pertanyaan dan kebingungan yang baru pula,”Jika Yesus Kristus yang adalah Allah adalah Allah sendiri, lalu siapakah Yesus Kristus yang juga disebutkan sebagai seorang manusia?”
[9] Ibid.,p.172.
[10] Pasca Konsili Nicea, perdebatan Kristologis masih terus berlanjut. Akan tetapi permasalahan ini lebih mengarah kepada persoalan Kristologi-Logos. Konsep ini pertama kali dikembangkan oleh Origenes (Abad III). Namun Kristologi origenes mengandung banyak persoalan. Di satu pihak, Konsep Kristologi ini mempunyai kelebihan yakni dalam Kristologinya Origenes menegaskan perbedaan antara keilahian dan keinsanian Yesus Kristus, dan di lain pihak menekankan kesatuan dari Sang Allah-Manusia. Akan tetapi, ada pula kekurangan dalam Kristologi Origenes yakni gagasan inkarnasi yang kurang tegas. Oleh sebab itu, muncullah aneka penafsiran berkaitan dengan Kristologi-Logos ini (yang dipelopori oleh Arius, Athanasius, Eusthasius, dan Apollinaris). Salah satu ajaran (yang kemudian dianggap sebagai heresi) berpengaruh luas pada saat itu adalah Apollinarianisme. (Penjelasan lebih lengkap lih. Dr. Nico Syukur Dister, op.cit, hlm., 196-203).
[11] Eustathius adalah Teolog pertama yang berusaha mengembangkan Kristologi Sabda-manusia. Hal ini dilakukan untuk mengetengahkan Kristologi Sabda-daging yang begitu kuat dan tersebar luas. Akan tetapi konsepnya tentang Sabda-manusia ini (bahwa Yesus juga memiliki jiwa insani) berlawanan dengan ajaran Arius karena ia tetap berpegang dan mengakui Keallahan Yesus Kristus. Akan tetapi dalam konsep Sabda-manusia ini, Eustathius membedakan sedemikian tajam antara kedua kodrat dalam Kristus sehingga kadang-kadang menimbulkan kesan bahwa ia memisahkan kodrat keallahan dan kemanusiaan Kristus. (Ibid., hlm. 199).
[12] Alasan utama kami memilih tokoh-tokoh ini sebagai rujukan adalah karena usaha mereka yang gigih dalam mempertahankan doktrin mengenai Trinitas untuk melawan heresi yang berkembang saat itu. Athanasius, misalnya, meskipun berkali-kali diasingkan karena ajarannya yang (terkesan) ortodoks, namun ia tidak pernah menyerah untuk merumuskan ajaran iman yang benar hingga akhirnya ajarannya diterima oleh Gereja sebagai rumusan iman dalam pengakuan akan Allah Tritunggal.
[13] Dr. Nico Syukur Dister, Op.cit.,  hlm.150.
[14] Perlu diketahui bahwa sebelum itu ada banyak penafsiran yang berbeda terhadap penggunaan  kata ousia dan hypostatis.
[15] Dr. Nico Syukur Dister, Op. cit., hlm. 152.
[16] Penting juga untuk mengetahui pendapat beberapa ahli mengenai Kredo iman dalam Konsili Konstantinopel I dengan bertitik tolak pada pertanyaan, “Mengapa kredo ini disebut juga dengan Kredo Nicea-Konstantinopel. Tillemon (dalam “Memoires”) mengatakan bahwa Kredo yang digunakan dalam Konsili Konstantinopel I adalah pengembangan dari Kredo Konsili Nicea. Hefele juga berpendapat sama dengan Tillemont. Profesor dari Universitas Jena, Dr. Lipsius, mengatakan, (mengacu pada Kredo yang digunakan dalam pembaptisan di Gereja Salamis yang berasal dari St. Epiphanius): “Meskipun Epiphanius tidak hadir dalam Konsili Konstantinopel, dapat dipastikan bahwa hasil dari doktrin Nicea dalam Gereja-gereja timur, pengakuan iman yang singkat, yang ditemukan pada akhir dari bukunya “Ancoratus”, yang juga digunakan dalam rumusan Kredo pembaptisan dari Gereja Salamis, sama kata per kata dengan Kredo dari Konsili Konstantinopel I. (Henry R. Percivial, op.cit., p. 163.; Rumusan Iman dari Epihanius dapat dilihat di halaman 164-165).
[17] Bagian itu bisa dilihat langsung dalam kredo konsili Konstantinopel, bagian yang ditulis dengan huruf tebal (miring).
[18] Langsung sesudah syahadat dalam naskah Konsili menyusul kutukan terhadap pendapat bidaah khususnya arianisme: “Tetapi mereka yang berkata, ‘pernah Ia (yaitu Putra Allah) tidak ada’ dan ‘Sebelum dilahirkan, Ia tidak ada’, dan bahwa Ia dijadikan dari yang tidak ada, atau yang menyatakan bahwa Putra Allah berbeda hypostasis atau hakikat-Nya atau setelah dijadikan, atau mengalami perubahan, mereka itu dikutuk oleh Gereja Katolik.”(Dr. Nico Syukur Dister, OFM, op.cit., hlm. 144).
[19] Huruf tebal (miring) pada bagian Kredo ini untuk menandakan bagian yang ditambahkan dalam Kredo Nicea. Selain terdapat beberapa penambahan, terdapat juga beberapa unsur yang dihilangkan yang sebelumnya tertulis dalam kredo Nicea, seperti misalnya bagian anathema (kutukan).
[20] Diyakini sebagai kanon yang paling otentik dari Konsili Konstantinopel I.
[21] Mereka itu antara lain aliran Arianisme, Semi-Arian, Macedonian atau Pneumatochi, Apolinarian, Sabellian, Mercellian, dan Photinian.
[22] Dalam Epitome (teks Yunani) sesatan yang dikutuk oleh Gereja adalah Eunomian (Aanomæan), Eudoxian, Semi-Arian atau Pneumatomachi, Sabellian, Marcellian, Photinian dan Apollinarian. Namun dalam kanon ini juga menurut Hefele, para konsilier mengidentifikasikan beberapa ajaran sesat (heresi) yang kurang lebih berisikan sesatan yang sama. Misalnya Eudoxian disamakan dengan ajaran Arian atau Aanomæan. Juga kanon I ini menyatakan bahwa Semi-Arian identik dengan ajaran Pneumatomachi (yang semuanya mengaplikasikan doktrin Arius tentang Roh Kudus).

[23] Catatan dari Valesius dalam Socrates, H. E. v. 8
[24] Catatan dari Balsamont.
[25] Catatan dari Ancient Epitome of Canon III
[26] Catatan dari Zonaras.
[27] Kemungkinan besar kanon 5-6 berasal dari konsili di Konstantinopel II yang diadakan  pada tahun berikutnya, 382.
[28] Catatan dari Zonaras.

1 komentar:

  1. Shalom bapak, ibu saudara/i di manapun berada. Apakah Sudah ada yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael? Ini adalah kalimat pengakuan iman orang Yahudi yang biasa diucapkan pada setiap ibadah mereka baik itu di rumah ibadat atau sinagoga maupun di rumah. Yesus juga menggunakan Shema untuk menjawab pertanyaan dari seorang ahli Taurat mengenai hukum yang utama. Kita dapat baca di Ulangan 6 ayat 4 dan pernah juga dikutip oleh Yesus di dalam Injil Markus 12 : 29. Dengan mengucapkan Shema, orang Yahudi mengakui bahwa YHWH ( Adonai ) Elohim itu esa dan berdaulat dalam kehidupan mereka. Berikut teks Shema Yisrael tersebut dalam huruf Ibrani ( dibaca dari kanan ke kiri seperti huruf Arab ) beserta cara mengucapkannya ( tanpa bermaksud untuk mengabaikan atau menyangkal adanya Bapa, Roh Kudus dan Firman Elohim yaitu Yeshua haMashiakh/ ישוע המשיח, yang lebih dikenal oleh umat Kristiani di Indonesia sebagai Yesus Kristus ) berikut ini

    Teks Ibrani Ulangan 6 ayat 4 : ” שְׁמַ֖ע ( Shema ) יִשְׂרָאֵ֑ל ( Yisrael ) יְהוָ֥ה ( YHWH [ Adonai ] ) אֱלֹהֵ֖ינוּ ( Eloheinu ) יְהוָ֥ה ( YHWH [ Adonai ] ) אֶחָֽד ( ekhad )


    Lalu berdasarkan halakha/ tradisi, diucapkan juga berkat: ” ברוך שם כבוד מלכותו, לעולם ועד ” ( " barukh Shem kevod malkuto, le’olam va’ed " ) yang artinya diberkatilah nama yang mulia kerajaanNya untuk selama-lamanya " ). Apakah ada yang mempunyai pendapat lain?.
    🕎✡️👁️📜🕍🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️☁️☀️⚡🌧️🌈🌒🌌🔥💧🌊🌬️🏞️🗺️🏡⛵⚓👨‍👩‍👧‍👦❤️🛐🤲🏻🖖🏻🌱🌾🍇🍎🍏🌹🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐟🐍₪🇮🇱⛪

    BalasHapus