Selasa, 30 November 2010

UAS FILSAFAT BUDAYA STFT


1. Perbedaan antara Antropologi Budaya dan Filsafat kebudayaan!
- Objek material dari AB dan FB          : manusia dan budaya
- Antropologi Budaya : Antropologi budaya merupakan studi antropologi yang bidang studinya mengambil kebudayaan sebagai objeknya. Aspek-aspeknya antara lain meliputi masalah sejarah asal, perkembangan, dan penyebaran aneka warna bahasa yang diucapkan manusia di seluruh dunia; masalah perkembangan, penyebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan di seluruh dunia; dan masalah azas-azas dari kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang tersebar di seluruh muka bumi. Antropologi sampai pada hakikat kebudayaan melalui metode perbandingan. Dengan memperhatikan berbagai data yang diperoleh lewat data di lapangan, mereka mencoba mendefinisikan tentang kebudayaan, yang dapat melewati batas ruang dan waktu, yang mampu mengungkapkan hakikat kebudayaan manusia (objek formal). Antropologi budaya sifatnya ideografis, yakni melukiskan, menganalisis, lalu membuat kesimpulan berdasarkan data. Antropologi budaya menggunakan metode induktif dalam merumuskan tentang kebudayaan, yakni mengumpulkan fakta-fakta yang ada dalam suatu kebudayaan, mengambil dari fakta-fakta tersebut kesesuaian (keseragaman) dan juga perbedaan dana lalu kemudia menetapkan hukum empiris sebelum menentukan secara induktif definisi kebudayaan.
- Sementara itu, Filsafat kebudayaan mengkaji wilayah instrospeksi, yakni mengkaji wilauah kebudayaan sedalam-dalamnya. Oleh sebab itu, sifatnya kritis-etis yakni menentukan kaidah-kaidah, pedoman, dan juga melakukan pemilahan, mana yang merupakan kebudayaan otentik dan mana yang tidak. Selain itu, filsafat kebudayaan juga menguji definisi kebudayaan sampai pada taraf metafisis, yaitu menurut norma-norma transenden (objek formal; cara pendekatannya).

2. Bagan Kebudayaan (Strategi kebudayaan Van Peursen)
Prof. Dr. C. A. Van Peursen mencetuskan Bagan Tiga Tahap Kebudayaan. Adapun ketiga tahap dalam bagan ini ialah: tahap mitis, tahap ontologis dan tahap fungsionil.
Tahap mitis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif. Dimana dalam kebudayaan modern pun sikap mitis ini masih terasa.
Tahap ontologis adalah sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Kita akan melihat, bahwa ontologi itu berkembang dalam lingkungan-lingkungan kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
Tahap fungsionil ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap obyek penyelidikannya (sikap ontologis). Bukan, ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya.
Tahap-tahap tersebut saling memperlihatkan sesuatu yang terkandung dalam setiap kebudayaan, oleh karena itu tidak dapat dipandang secara historis semata-mata karena tahap ini muncul sesudah tahap yang lebih dahulu. Karena yang akan diusahakan disini bukan menyusun suatu sejarah kebudayaan, melainkan membuka jalan sehingga kita mampu untuk menilai perkembangan kebudayaan kita sendiri sacara kritis.
Dalam tahap mitis manusia belum mempunyai kesadaran akan identitasnya sendiri, kekuasaan para dewa yang meresapi manusia dan benda-benda, nilai-nilai yang terjalin dengan hubungan keluarga dan suku, kurangnya kesadaran historis—semuanya memperlihatkan pola dasar dalam pikiran mitis yaitu bahwa manusia dan dunia saling Meresapi.
Dalam tahap mitis ini dapat dilihat bahwa manusia berusaha untuk mentransendensensikan hidupnya melalui daya-daya kekuatan alam yang mereka percayai berasal dari dewa-dewa dan memiliki suatu kekuatan gaib, misalnya dalam suku tertentu di wilayah Afrika sering diadakan upacara-upacara mitologis yang diadakan untuk meminta hujan kepada para dewa-dewa, setelah upacara dilaksanakan tidak lama kemudian hujan pun turun, seakan para dewa menyanggupi permintaan dalam upacara yang diadakan suku tersebut, lambat laun masyarakat mempercayai bahwa upacara tersebutlah yang sebenarnya dapat menurunkan hujan bukanlah kekuasaan para dewa.
 Efek negatif yang ada pada tahap mitis yaitu magis, dimana magis itu sendiri adalah suatu usaha dengan alat dan cara tertentu (misalnya mantera-mantera atau alat-alat khusus yang diwariskan secara turun-temurun) untuk memperalat kontak antara masa kini dengan jaman bahari yang penuh mitos-mitos guna menguasai sesama manusia dan daya kekuatan alam.Magis mengakibatkan hilangnya kepercayaan terhadap kekuasaan para dewa atau kekuasaan daya tertinggi yang diyakini oleh manusia, magis mengimanensi mitis. Jika magis berhasil menonjolkan efeknya dalam suatu kebudayaan, maka semua yang telah dilakukan untuk mentransendensi kehidupan, segala tradisi-tradisi, upacara-upacara, nilai-nilai direndahkan dan hanya dianggap sebagai pelengkap karena kebiasaan saja, tahap mitis kehilangan kekuatannya, para dewa tidak lagi memiliki peran dalam upacara sehingga manusia menjadi sombong dan angkuh akan kepandaiannya, terutama golongan yang memiliki peran yang sangat penting dalam upacara, misalnya imam atau dukun yang mengetuai upacara minta hujan tersebut, dia dianggap sebagai orang yang paling menguasai tata cara dan keberlangsungan upacara, tanpa kehadirannya upacara seakan menjadi satu hal yang mustahil. Hal ini mengakibatkan pengagung-agungan para dukun atau imam upacara tersebut, seolah-olah mereka dianggap sebagai pengganti atau penjelmaan para dewa. Kekuasaan yang dimiliki para dukun dalam sebuah suku tertentu pada akhirnya hingga turun temurun memiliki kasta tersendiri yang tingkatnya dianggap lebih tinggi daripada orang-orang biasa, kekuasaan tersebut dapat menjadi suatu kediktatoran melebihi kekuasaan yang dimiliki oleh kepala suku. Dalam jaman modern daya-daya produksilah yang mengembangkan kesejahteraan dan kemungkinan-kemungkinan hidup. Dan dalam masyarakat kita pun yang ditandai oleh nafsu konsumsi kelihatan sikap-sikap yang serupa, yang mau main dominasi: mendobrak rintangan-rintangan bagi pemasaran produk-produknya, memaksa orang lain untuk membeli produk-produk tertentu, memperalat sesama manusia.
Persamaan timbulnya efek magis dalam tahap mitis antara jaman modern dan jaman primitif misalnya dapat digambarkan melalui efek negatif kediktatoran antara kekuasaan dukun di Afrika pada jaman dulu dan kekuasaan borjuis/kapitalis modal pada jaman modern: Dukun di Afrika pada jaman primitif:
1.Menjalankan suatu rezim kediktatoran terhadap sukunya,
2.Warga sukunya seolah-olah terkurung oleh ketakutan demonis,
3.Meskipun sebetulnya yang menjalankan kekuasaan bukan satu orang individu (kepala suku, dll) tetapi dukun seolah-olah merupakan penjelmaan dari kekuasaan suku.

Kaum borjuis/kapitalis modal pada jaman modern:
1.Menjalankan suatu rezim kediktatoran terhadap masyarakat melalui produk-produknya yang meski kita butuhkan atau tidak tetap menguasai kehidupan masyarakat, 2.Masyarakat seolah-olah membutuhkan produk-produk tersebut hingga akhirnya menjadi masyarakat konsumsi,
3.Masyarakat dikuasai dan dipimpin oleh pemerintah tetapi kaum borjuis sebagai pemilik modal seolah-olah merupakan penjelmaan dari kekuasaan dan kepemimpinan pemerintah, atau dengan kata lain modal/uang yang membeli kekuasaan.
Gambaran tersebut memberi kita informasi bahwa munculnya efek negatif tahap mitis berupa magis menimbulkan terkurungnya kembali manusia pada suatu fakta-fakta kehidupan, sehingga magis mengembalikan manusia ke dalam lingkaran imanensi.
Selain digambarkan melalui kekuasaan kaum kapitalis, efek magis di jaman modern juga timbul dalam berbagai bidang. Beberapa efek magis yang baru-baru ini muncul seperti misalnya batu bertuah milik Ponari atau pohon menangis yang terdapat di jawa barat, konon dipercaya berkhasiat untuk menyembuhkan segala jenis penyakit, sekali lagi manusia kembali terjebak dalam lingkaran imanensi, dikarenakan masyarakat mempercayai bahwa kesembuhan diperolah langsung dari batu bertuah tersebut/Ponari yang mencelupkan batu ke dalam air (dipercaya juga bahwa jika bukan Ponari yang mencelupkan batu, maka airnya tidak lagi berkhasiat), atau langsung dari pohon keramat tersebut, manusia mulai melupakan keberadaan Sang Pemberi kesembuhan, manusia ter-imanensi, dan tahap mitis mulai mencari-cari suatu pembebasan akan efek negatif ini.
Pembebasan akan magis muncul dalam tahap kebudayaan yang kedua yaitu tahap kebudayaan Ontologis, dimana dalam tahap ini manusia mulai menanyakan hakekat sesuatu, hakekat dirinya, hakekat benda-benda yang ada disekitarnya, hakekat alam atau dunia, selain itu dengan kemampuan transendensi manusia mulai mencari daya-daya yang lebih kuat dan sempurna dibandingkan segala sesuatu yang pernah dilihatnya, dan juga mulai menanyakan apakah terdapat kekusaan yang Maha Tinggi yang berada di atasnya. Lewat tahap ini manusia membuat peta mengenai segala sesuatu yang mengatasi manusia. Manusia mulai mempercayai bahwa diluar segala sesuatu yang ada pada jagad raya, dunia dan segala isinya terdapat Yang serba transenden dan Dialah yang memberi hakekat pada segala sesuatu. Karena manusia memberikan hakekat dan mendefinisikan segala sesuatu, maka muncullah pembatasan-pembatasan terhadap segala hal, tercipta norma-norma, hukum dan tata tertib yang harus dipatuhi oleh masyarakat, manusia memberikan nilai-nilai kepada segala sesuatu. Dikarenakan manusia yang telah meninggalkan dunia mitis ingin melihat dengan jelas jalan mana yang ditempuhnya. Itulah sebabnya ia menyusun hukum-hukum bagi kehidupan dalam masyarakat, ia menyusun sebuah tata negara, mengajarkan moral; pembaharuan religius dan politis memperjuangkan nilai-nilai moril. Manusia mendefinisikan nilai-nilai.
Efek negatif yang ada pada tahap ini disebut dengan Substansialisme, yaitu sesuatu yang dapat berdiri sendiri, yang mempunyai landasan sendiri dan tidak perlu bersandar pada sesuatu di luarnya. Sehingga segala sesuatu yang pada mulanya tumbuh bersama kini mulai terpisah-pisah dan terputus, muncul adanya kelompok-kolompok di masyarakat, kehidupan manusia ditandai dengan adanya sekat-sekat. Substansialisme berarti segala sesuatu yang tidak bernilai, tidak ada hakekatnya harus dimusnahkan karena tidak sesuai dengan pencapaian yang ingin dituju oleh ontologis.
Substansialisme pada akhirnya dibebaskan oleh tahap yang ketiga yaitu tahap fungsionil, tahap kebudayaan yang sangat mencirikan kebudayaan modern.
Dalam pemikiran fungsionil manusia tidak lagi mencari hakekat ataupun nilai-nilai atas segala sesuatu melainkan mengutamakan arti atau fungsi yang melandasi sesuatu. Fungsionil menciptakan suatu globalisasi dalam dunia manusia, tidak ada lagi sekat ataupun pemisah antara yang satu dengan yang lain selama itu bertujuan untuk mencapai fungsionalitas yang sama. Tahap fungsionil memahami arti dan makna sesuatu berarti, bahwa arti tersebut dapat dinyatakan dalam praktek. Ini menjelaskan bahwa sesuatu berarti jika dapat diwujudkan secara real dalam suatu praktek, atau dengan kata lain segala sesuatu berarti jika memiliki fungsi atau berguna bagi kehidupan manusia.
Efek negatif yang dimiliki oleh tahap fungsionil adalah operasionalisme, yaitu suatu usaha untuk memutlakkan cara-cara berbuat sesuatu (operasi). Operasionalisme menjadikan segala sesuatunya terencana dan terukur secara pasti, hal tersebut demikian melanda kehidupan manusia sehingga menjadikan manusia seperti mesin atau robot yang dikendalikan oleh sistem. Secara gamblang, operasionalisme menuntun manusia ke dalam suatu kehidupan yang egois. Untuk mempermudah dalam menggambarkan pemikiran ontologis dan fungsional, mari kita ambil contoh kehidupan manusia sehari-hari: seorang turis perempuan yang berasal dari Eropa sedang berlibur musim panas ke Yogya, Indonesia. Minimnya kehangatan sinar matahari yang ada di Eropa menimbulkan keinginan turis tersebut untuk mandi matahari di Indonesia, maka sesampainya di Yogya dia menggunakan busana yang tidak seharusnya dipakai untuk berjalan-jalan (misalnya baju renang), karena hal tersebut berfungsi untuk memudahkan sinar matahari menjangkau kulitnya. Pengagungan fungsi atas segala sesuatu menimbulkan operasionalisme, yaitu sikap sistematis, praktis dan menilai keefektifan sesuatu tanpa menyadari adanya jiwa atau ruh yang mendasari segala sesuatu, manusia menjadi egois dan memperinci segala sesuatu untuk dijadikan rumus-rumus, mengukur segala sesuatu dari sudut apakah hal tersebut berfungsi atau tidak. Sehingga mulai muncul anggapan bahwa manusia di belahan bumi ini sama dengan manusia di belahan bumi yang lain, permintaan dan keinginan manusia disini juga sama dengan yang disana, efek negatif dari globalisasi. Pada akhirnya manusia tidak lagi dianggap sebagai individu tetapi sebagai kelompok atau geng tertentu. Sekali lagi manusia terkurung dalam imanensi, terkurung dalam operasi-operasi saja. Sedikit demi sedikit hilanglah sifat manusiawi yang seharusnya dimiliki oleh manusia.






3. Manusia dan Kebudayaan (Ernst Cassirer)
Pendekatan ini pertama kali diperkenalkan oleh  Ernst Cassirer sebagaimana termaktub didalam bukunya yang  cukup monumental, yakni “An Essay on Man”. Pendekatan simbolis ini pada dasarnya juga bersandar pada perspektif biologis. Cassirer sendiri sebagaimana diungkapkan didalam bukunya tersebut mengatakan sangat terpengaruh oleh teori biologis Von Uexkull, seorang biolog Jerman, yang berpandangan bahwa pada dasarnya organisme biologis manapun tidak dapat dilepaskan ekosistem yang melingkupinya.  Ekosistem  ini sangat bersifat khusus dan tepat bagi organisme yang bersangkutan. Setiap organisme mempunyai pengalamannya sendiri dan karena itu memiliki dunianya sendiri.
Gejala-gejala  yang  kita lihat dalam spesies biologis tertentu tidak dapat diterapkan kepada spesies-spesies lainnya. Pengalaman-pengalaman –dan karena itu juga realitas- dari dua organisme yang berlainan tidak dapat dibanding-bandingkan satu sama lain. Dengan kata lain antara  struktur biologis suatu organisme dengan lingkungan yang dihadapinya sangatlah sesuai dan tepat.
Berangkat  dari perspektif biologis gaya Von  Uexkull inilah Ernst Cassirer meneliti pola kehidupan yang  secara khas manusiawi. Menurut Cassirer, dunia manusiawi meskipun mengikuti hukum-hukum biologis sebagaimana semua kehidupan organisme  lainnya. Namun ia memiliki karakteristik  baru yang  menandai  ciri  khas  manusia. Lingkaran fungsional manusia  tidak hanya berkembang secara kuantitatif,  tetapi juga  mengalami perubahan-perubahan  kualitatif. Manusia telah menemukan cara baru untuk menyesuaikan diri  dengan lingkungannya.  Di antara sistem reseptor dan sistem  efektor yang  terdapat  pada semua  spesies  binatang,  pada manusia terdapat mata rantai yang mungkin dapat kita sebut sebagai sistem simbolis.
Dengan pencapaian baru ini, maka kehidupan manusia segera mengalami perubahan yang sangat fundamental sekali. Manusia benar-benar hidup dalam dimensi realitas yang baru. Manusia tidak lagi hanya sekedar  merespon  lingkungannya  secara  instingtual  dan langsung,  tetapi secara intelektif mampu mengendalikan refleks biologis menjadi respons-respons interpretatif dan bahkan manipulatif. Dengan cara ini manusia tidak semata-mata hidup dalam dunia fisik semata-mata, tetapi ia  hidup juga dalam suatu dunia simbolis.
Pemikiran  simbolis dan tingkah laku simbolis merupakan ciri khas yang betul-betul khas  manusiawi dan  seluruh kemajuan  kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu. Dari sinilah manusia menyusun realitas kebudayaannya yang secara umum merupakan  hasil dari proses simbolisasi dalam  hidup  dan kehidupannya. Oleh karenanya apabila kita ingin mengetahui realitas  terdalam dari hidup dan kehidupan manusia hendaknya kita telurusi dari kemampuan simbolisnya ini. Dari dasar pandangan ini Ernst Cassirer kemudian merumuskan definisi baru  terhadap hakekat manusia yakni, Animal Symbolicum (hewan yang bersimbol). Menurutnya, definisinya  tersebut bukan bermaksud untuk menggantikan definisi  yang  telah  klasik, yakni animal  rationale (hewan  yang  berakal).
Tetapi  dengan definisi tersebut ia berusaha untuk mengoreksi dan memperluas  dimensi pengertian yang  dikandungnya. Rasionalitas memang sifat yang melekat pada seluruh aktifitas manusia, tetapi definisi ini banyak menyimpan kesulitan-kesulitan tersendiri terutama dalam kaitannya dengan fakta-fakta kebudayaan manusia. Fakta-fakta kehidupan manusia  manusia terutama sekali kebudayaannya tidaklah semata-mata bersifat  rasional, tetapi kadangkala bersifat irrasional  dan emosional.
Dewasa ini penggunaan pendekatan simbolis untuk membahas realitas manusia telah banyak  dilakukan  dalam berbagai  cabang keilmuan, baik ilmiah, filsafat maupun theologi. Dalam bidang khusus kefilsafatan, mencari realitas dasar manusia tidaklah sederhana, mengingat sudut pandang yang hendak diberikannya harus bersifat mendalam, radiks  dan sistematis. Melalui prosedur analisis yang mendalam dan logis inilah filsafat hendak mengetahui realitas dasar manusia yang benar-benar substansial dari unsur-unsur  yang hanya bersifat aksidental.
Dengan  demikian diperlukan suatu sistem pendekatan yang mampu mengabstraksikan  unsur-unsur  yang bersifat  substansial  dari unsur-unsur yang aksidental. Penggunaan pendekatan simbolis pada akhirnya  banyak dipilih oleh para pemikir, karena perbuatan dan tingkah laku  simbolis manusia merupakan fenomena yang bersifat universal  dan khas pada diri manusia. Adapun  aspek  yang paling umum ditinjau dari prilaku simbolis manusia  adalah perbuatan  berbicara atau bahasa. Aspek ini dipilih  oleh para  pemikir, karena memuat banyak kemudahan dan  manfaat yang dapat diperoleh dari kompleksitasnya.
Pertama, kemampuan berbicara atau berbahasa adalah gejala yang sudah dikenal dengan baik dan jelas, sehingga  secara relatif mudah dipelajari oleh setiap orang  baik pada dirinya sendiri maupun pada orang-orang lain. Karena kemampuan berbicara dan berbahasa merupakan ciri khas dan mengisi eksistensi manusia, maka aspek ini  menjadi  tema yang paling banyak dipilih dan disukai oleh para pemikiran kontemporer.
Santo  Gregorius dari Nizza  (abad  keempat) di dalam bukunya tentang penciptaan manusia, ia menjelaskan bahwa oleh karena mansusia bisa berbicara dengan  lidahnya serta mengisyaratkan dengan tangannya, maka  ia  melebihi binatang-binatang. Tangan, menurutnya, seperti juga kemampuan berbicara pada manusia merupakan lambang serta alat dari roh, alat yang memungkinkannya untuk mengukur segala benda dan mengisya-ratkan segala realitas. Descartes di dalam Discours de la methode, juga menyinggung  kemampuan berbicara  manusia ,sedemikian Marleau-Ponty di dalam buku-bukunya- Phenomenologie de la Perception, Paul Ricour di dalam La Symbolique, Sigmund Freud dan lain sebagainya. Ketiga, kemampuan berbicara atau berbahasa  menggambarkan keseluruhan manusia atau manusia secara menyeluruh. Andre Marc, menyatakan didalam bukunya Psychology Reflexive bahwa keuntungan yang dapat diperoleh dengan memulai suatu filsafat manusia melalui suatu refleksi terhadap kemampuan bicara.
Selain gejala mampu berbicara itu mudah dikonstatir dan bahwa hal itu memang memberikan corak khas  terhadap  ”ada”-nya manusia, keadaan itu  memperbolehkan  kita untuk mengerti manusia dalam “kesatuannya” yang  dinamis dan sekaligus dalam kompleksitasnya sebagai suatu kesatuan yang  hidup, terbawa kearah dunia dan  berhubungan  dengan sesamanya
Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dengan menggunakan pendekatan simbolis dalam memahami  realitas  dasar dari  wujud manusia ialah karena perbuatan berbicara atau berbahasa mengisyaratkan (meng-asumsikan)  beberapa  hal yang  sangat fundamental dalam struktur hakiki  manusia, yakni :
Pertama, dengan berbicara atau berbahasa, maka mengisyaratkan bahwa  manusia bersifat sadar dan bebas. Tentu saja untuk kepentingan bahasan tersebut hendaklah diabaikan dulu bahasa atau perbuatan meng-isyaratkan yang bersifat tidak sadar, afektif maupun fiksasi psikologis. Yang dibicarakan dalam kaitan ini adalah perbuatan berbicara atau berbahasa yang sadar, yakni bahasa yang digunakan untuk ekspresi sesuatu secara “dipikirkan”
Kedua, dengan  berbicara atau  berbahasa  mengisyaratkan bahwa makhluk yang berbicara dan mengisyaratkan harus memiliki sebuah kesatuan substansial dibawah banyaknya perbuatan yang dilakukannya. Asumsi ini berangkat dari kenyataan bahwa perbuatan berbicara atau berbahasa  melibatkan perbuatan yang bersifat banyak, maka perlulah pada waktu ia melakukan perbuatan-perbuatan itu, ia tetap tinggal secara substansial; ia identik dengan dirinya. Sebab jika tidak ia tidak akan dapat melanjutkan suatu percakapan yang paling kecil pun, atau mungkin ia tidak akan mampu menyelesaikan sebuah kalimat yang paling sederhana sekalipun
Ketiga, dengan  berbicara atau  berbahasa  mengisyaratkan bahwa ia memiliki eksistensi wujud yang bersifat  eksterioritas .  Hal ini terlihat dari kemampuan dirinya yang sanggup mengarahkan dirinya secara terbuka terhadap dunia dan kehadiran pada orang-orang lain. Berbicara menunjuk-kan orang hadir dalam dunia dan tampil ditengah mereka yang mendiaminya. Orang selalu berbicara tentang sesuatu kepada seseorang. Orang selalu mengucapkan dirinya  dalam  suatu alam realitas inderawi, disitu semestinya terdapat  mereka yang berbicara dan mereka yang menulis, mereka yang menjadi lawan berbicara dan mereka yang membaca.
Keempat, dengan  berbicara atau  berbahasa  mengisyaratkan bahwa ia memiliki interioritas (ruang dalam jiwa). Hal ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk menerima dan memiliki kreativitas. Apa yang dikemukakannya tentang dunia, telah lebih dulu, dipikirkannya dan terkandung  dalam dirinya sendiri. Dengan cara ini ia bisa meninjau kembali apa yang telah dikatakan atau ditulisnya untuk memperjelas dan membetulkannya. Tentu saja hal ini tidak dapat dilakukan  kecuali  melalui cahaya suatu pikiran  yang  secara bagaimanapun, mendahului pengeks-presiannya.
Kelima dengan  berbicara atau  berbahasa  mengisyaratkan bahwa ia merupakan suatu makhluk yang hidup. Dengan berbahasa manusia menempatkan diri ke dalam dunia, menyesuaikan diri dengannya, berpar-tisipasi dengan eksistensinya, memanfaatkan kemungkinan-kemung-kinannya dan menikmati kekayaannya. Pendek kata, dengan berbicara manusia  bersikap sebagai sesuatu yang hidup.
Keenam, dengan  berbicara atau  berbahasa  mengisyaratkan bahwa ia adalah makhluk yang mampu mengetahui dan  mempunyai afektivitas. Asumsi ini berangkat dari realitas bahwa manusia selalu berbicara untuk mengemukakan apa yang telah diketahuinya tentang  dunia, atau untuk menjelaskan apa yang telah dapat dimengertinya dari realitas, ataupun paling tidak untuk memberikan informasi-informasi atau untuk mengajukan pendapat-pendapat. Selain itu, asumsi ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memiliki afektivitas. Setiap orang hampir hanya membicarakan apa yang menarik baginya, dan hanya berbicara panjang lebar hal-hal yang dianggap tidak penting atau bukan pada tempatnya. Orang tidak akan berbicara lama dengan orang lain yang nyata menunjukkan syak wasangka. Bahkan, merupakan suatu cara untuk mengemukakan rasa tidak senang atau rasa kurang menghargai, kalau seseorang menolak untuk mengadakan percakapan dengan orang lain.
Ketujuh, dengan perbuatan berbicara atau berbahasa  mengisyarat-kan bahwa ia adalah makhluk yang berdimensi rohani dan jasmani. Asumsi ini berangkat dari kenyataan bahwa jasmani yang bersifat inderawiah diperlengkapi dengan anggota  serta organ yang memungkinkannya mengubah materi untuk membuatnya signifikasi. Dan unsur rohanilah  yang membuat segala hal menjadi signifikasi. Jasmani yang hidup, mengeluarkan suara, melakukan gerakan isyarat  dan mengubah  wajah bumi. Suatu roh yang menjiwai  suara  dan memberi makna kepada gerakan. Sebuah jasmani dan  ruhani yang  hanya merupakan satu makhluk saja, bagaimana  sebuah tanda terdiri dari suatu unsur inderawi dan suatu signifikasi. Sebuah badan yang dijiwai dan dispiritualisasikan, sebuah roh yang dijelmakan dan disituasikan.

4. Budaya populer dan budaya massa!
Menurut Dennis McQuail (1994:31), kata massa berdasarkan sejarah mempunyai dua makna, yaitu positif dan negatif. Makna negatifnya adalah berkaitan dengan kerumunan (mob),atau orang banyak yang tidak teratur, bebal, tidak memiliki budaya, kecakapan dan rasionalitas. Makna positif, yaitu massa memiliki arti kekuatan dan solidaritas di kalangan kelas pekerja biasa saat mencapai tujuan kolektif.
Sehubungan dengan makna komunikasi terutama komunikasi massa, makna kata massa mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu dengan yang lainnya, maka masssa sama dengan suatu kumpulan orang banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas.
Blumer (1939) dalam McQuail (2002:41), mengemukakan ada empat komponen sosiologis yang mengandung arti massa, yaitu :
1. Anggota massa adalah orang-orang dari posisi kelas sosial yang berbeda, jenis pekerjaan yang berlainan , dengan latar belakang budaya yang bermacam-macam , serta tingkat kekayaan yang beraneka atau berasal dari segala lapisan kehidupan dan dari seluruh tingkatan sosial.
2. Massa terdiri dari individu-individu yang anonim.
3. Biasanya secara fisik anggota massa terpisah satu sama lainnya dan hanya terdapat sedikit interaksi atau penukaran pengalaman antar anggota-anggota massa dimaksud.
4. Keorganisasian dari suatu massa bersifat sangat longgar , dan tidak mampu untuk bertindak bersama atau secara kesatuan, seperti hanya suatu kerumunan (crowd).
Secara umum pengertian massa ditandai dengan :
a. Kurang memiliki kesadaran diri.
b. Kurang memiliki identitas diri
c. Tidak mampu bergerak secara serentak dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
d. Massa ditandai oleh komposisi yang selalu berubah dan berada dalam batas wilayah yang selalu berubah pula.
e. Masssa tidak bertindak dengan dirinya sendiri , tetapi dikooptasi untuk melakukan suatu tindakan.
f. Meski anggotanya heterogen , dan dari semua lapisan sosial, massa selalu bersikap sama dan berbuat sesuai dengan persepsi orang yang mengkooptasi mereka .
Konsep masssa kemudian mengandung pengertian masyarakat secara keseluruhan " masyarakat massa"( the mass society). Menurut McQuail (2002 :39), massa ditandai oleh (1) memiliki agregat yang besar;(2) tidak dapat dibedakan;(3) cenderung berpikir negatif; (4) sulit diperintah atau diorganisasi; dan (5) refleksi dari khalayak massa.

Media massa adalah institusi yang menghubungkan seluruh unsur masyarakat satu dengan lainnya dengan memulai produk media massa yang dihasilkan. Secara spesifik institusi media massa adalah (1) sebagai saluran produksi dan distribusi konten simbolis (2) sebagai institusi publik yang bekerja sesuai aturan yang ada;(3) keikutsertaan baik sebagai pengirim atau penerima adalah sukarela;(4) menggunakan standar profesional dan birokrasi; dan (5) media sebagai perpaduan antara kebebasan dan kekuasaan (McQuail, 2002:15)
Kehidupan masyarakat kota, pada umumnya, satu sama lain tidak saling mengenal dan interaksi-interaksi mereka didasari oleh kepentingan dan kebutuhan yang dilandasi pada hubungan sekunder, sehingga secara real media massa telah menjadi salah satu kebutuhan dalam berinteraksi di dalam masyarakat perkotaan satu dengan lainnya.
Penggunaan media massa berbeda dengan komunikasi antar pribadi. Media massa membutuhkan persyaratan tertentu dari pemakainya. Pertama adalah orang harus bisa membaca, sebelum mengkonsumsi surat kabar atau majalah. Kedua,orang harus memiliki pesawat radio atau televisi, bila akan mengikuti siarannya, atau punya uang untuk beli karcis bila akan menonton film. Ketiga, kebiasaan memanfaatkan media ( media habit). Untuk menjadi khalayak media massa, maka ketiganya perlu dimiliki atau dilakukan. Apabila tidak, maka mereka tidak bisa menjadi khalayak media massa atau masyarakat media.
Dalam penyampaian berbagai produk tayangan, media massa berupaya menyesuaikan dengan khalayaknya yang heterogen dan berbagai sosio-ekonomi, kultural, dan lainnya. Produk mediapun pada akhirnya dibentuk sedemikian rupa , sehingga mampu diterima oleh banyak orang . Di sisi lain , media juga sering kali menyajikan berita, film, dan informasi lain dari berbagai negara sebagai upaya media memberikan pilihan yang memuaskan bagi khalayak nya. Produk media baik yang berupa berita, program keluarga, kuis, film dan sebagainya , disebut sebagai upaya massa yaitu karya budaya.
Berdasarkan ciri yang demikian., maka seni hiburan ini banyak diproduksi media untuk menarik sebanyak mungkin khalayaknya.Hal ini tidak hanya dipengaruhi kebutuhan khalayak massa yang heterogen, juga adanya kepentingan komersial media yang kini masuk sebagai industri yang membutuhkan dana besar melalui iklannya . Budaya massa dibentuk disebabkan :
1. Tuntutan industri kepada pencipta untuk menghasilkan karya yang banyak dalam tempo singkat. Maka si pencipta untuk menghasilkan karya yang banyak dalam tampo singkat, tak sempat lagi berpikir, dan dengan secepatnya menyelesaikan karyanya. Mereka memiliki target produksi yang harus dicapai dalam waktu tertentu.
2. Karena massa budaya cenderung "latah" menyulap atau meniru segala sesuatu yang sedang naik daun atau laris, sehingga media berlomba untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Pada umumnya budaya massa dipengaruhi oleh budaya populer. Pemikiran tentang budaya populer menurut Ben Agger ( 1992;24) dapat dikelompokkan pada empat aliran (a) budaya dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari;( b) kebudayaan populer menghancurkan nilai budaya tradisional;(c) kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi Marx kapitalis; dan (d) kebudayaan populer merupakan budaya yang menetes dari atas.

Kebudayaan populer banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu , seperti pementasan mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model rumah, perawatan tubuh, dan semacamnya.
Budaya juga memiliki nilai yang membedakan satu budaya dengan budaya lainnya. Budaya yang memiliki nilai tinggi dibedakan dengan budaya yang memiliki nilai dibawahnya. Namun dalam budaya populer, `perangkat media massa` seperti pasar rakyat, film,buku,televisi, dan jurnalistik akan menuntun perkembangan budaya pada ` erosi nilai budaya`.


Budaya Populer
Lahir dari komunitas masyarakat tertentu. Budaya popular adalah budaya milik rakyat dan melekat pada rakyat. Karya-karya tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga disukai oleh masyarakat. Dengan kata lain, budaya popular adalah budaya yang diciptakan agar dapat dicerna oleh masyarakat luas. Dalam atau bagi masyarakat modern, budaya popular adalah budaya yang diciptakan oleh suatu komunitas masyarakat untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
3 gagasan pook budaya popular
1. Apa dan siapa yang menentukan budaya popular, darimana datangnya, apakah muncul dari kalangan bawah/atas?
2. pengaruh komersialisasi dan industrialisasi terhadap budaya popular, apakah budaya tersebut dapat menyumbang untk kemanusiaan atau hanya sekedar komersialisasi?
3. menyangkut peran ideologis popular, apakah indoktrinasi atau bukan? Untuk mempertahankan kelompok tertentu atau milik penguasa untuk mengontrol kelompok-kelompok yang lebih rendah?
Disimpulkan bahwa budaya popular adalah budaya yang hidup di kalngan masyarakat. Pencipta budaya popular adalah masyarakat tertentu dan juga penguasa. Oleh sebab itu, budaya popular memiliki cirri : inferior, mudah dicerna karena diciptakan oleh masyarakat luas, dan hidup dalam masyarakat saat ini.
 Budaya Masaa
Budaya popular yang melalui teknologi dan komersialisasi didistribusikan secara masal demi meraih keuntungan. Mis musik jazz.

NO
Budaya Popular
Budaya Masaa
1



2.
Masyarakat tradisional dengan ikatan-ikatan social, control-kontrol social/ikatan moral.

Memberi ruang pada daya kreativitas (keterogenisasi budaya)
Masyarakat massa, kumpulan massa

Menutup ruang daya kreativitas manusia

Manusia dibuat sebagai konsumen.
Pencipta budaya massa: pelaku2 bisnis. Massa bertindak sebagai konsumen shg menghilangkan proses kreatif.


5. Budaya massa di Indonesia!
Hal yang menarik untuk diteruskan adalah, bagaimana manifestasi dari budaya massa dalam keseharian masyarakat Indonesia ini. Diyakini bahwa budaya massa ini telah berkembang jauh dan pesat, menjangkau seluruh wilayah dan lapisan suku-suku bangsa yang mengalami persentukan dengan teknologi informasi dan pusat perputaran barang dan jasa.
Shopping Mall
Yasraf Amir Piliang mengutarakan shopping mall selaku sebuah manifestasi dari budaya massa yang bersifat ‘fantasi.’2 Dalam shopping mall, kegiatan belanja yang semata-mata transaksi jual beli mengalami perubahan. Dalam shopping mall kegiatan belanja berubah fungsi sebagai pengisi waktu senggang (leisure time). Ini dapat kita lihat pada berapa banyak setiap harinya orang-orang berkeliling shopping mall tanpa berbelanja apapun. Terkadang mereka Cuma berkeliling, berbincang, atau mengagumi barang-barang produk baru.
Shopping mall memuaskan rasa penasaran manusiawi akan sesuatu yang baru. Shopping mall terus meremajakan dirinya lewat pengenalan wahana-wahana toko baru, permainan kanak-kanak, lingkungan yang semakin nyaman (taman, AC, dan kebersihan). Jumlah shopping mall ini terus bertambah setiap tahunnya di Indonesia. Di Jakarta terdapat kurang lebih 60 mal yang tersebar di kota-kota madyanya seperti Mall of Indonesia, Tamini Square, Town Square, Mal Kelapa Gading, Kota Casablanca atau Grand Indonesia.
Di Sulawesi Selatan sekurangnya 6 mall telah beroperasi di sana seperti Mall Ratu Indah, Makassar Trade Center, Mall Panakukang, Pusat Grosir Butung, Pusat Souvenir Somba Opu, dan Global Trade Center. Bahkan di wilayah Nusa Tenggara Timur, sekurangnya 1 mall telah berdiri yaitu Mall Flobamora.
Pada satu sisi, berdirinya mall merupakan upaya dari para pemerintah daerah untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerahnya. Mall terdiri atas beragam diversivikasi usaha seperti bank, toko makanan, toko buku, toko mainan, taman bermain prabayar, bioskop, dan sejenisnya. Tenaga kerja yang direkrut pun cukup banyak, termasuk potensi-potensi yang dibawanya yaitu bergeliatnya kegiatan ekonomi di sekeliling mall seperti rumah kontrakan, kos, angkutan umum, dan sebagainya.
Namun, dari sisi budaya, mall menjadi agen dari massalisasi budaya. Produk-produk barang dan jasa yang ditawarkan setiap mall cenderung homogen. Bioskop, sebagai missal, adalah Twenty One yang menjadi milik dari satu perusahaan. Lalu, hampir di setiap mall department-department store relative homogeny seperti Naga, Matahari, Ramayana, Borobudur, dan sebagainya.
Department-department tersebut pun menawarkan produk-produk barang pabrikan. Jadi, pabrik menggunakan agen mereka (department store) untuk memasarkan produk mereka. Maka jadilah produk-produk mereka digunakan secara massal oleh masyarakat. Dari penghujung mall yang ada di Aceh hingga Papua, tawaran produk relative sama.
Kapitalisasi produk, bahkan manusia pun berlangsung di mall. Relatif sering terlihat di hampir setiap department store, manusia (khususnya perempuan) “dipajang” menjajakan produk pabrikan tertentu seperti kosmetik dan pakaian. Mereka berdiri layaknya mannequin berdiri statis dan bedanya sekadar mereka bisa tersenyum.
Selain shopping mall, kini berkembang fenomena “hypermall”, yang berbeda dengan shopping mall yang beraneka agen, lebih ditandai satu agen tunggal. Carrefour, Giant, Hypermart, dan sejenisnya kini pun telah berkembang di Indonesia. Barang yang mereka jual, kendati satu agen tunggal, sangat bervariasi dari bahan mentah makanan hingga barang elektronik canggih semisal televise flat dan laptop. Terkadang kendaraan roda dua dan empat pun dijajakan di sana. Konsumen begitu dimanjakan dengan sifat segala ada, nyaman, cepat, terklasifikasi, seperti disediakan oleh hypermall.
Fenomena hypermall ini mendukung teori penciptaan kebutuhan konsumen oleh produsen barang. Hypermall adalah agen, barang-barang yang dijualnya berasal dari beragam produsen. Namun, produsen tersebut biasanya tetap. Misalnya untuk odol, merk-merk seperti Pepsodent, Formula, Oral-B, Siwak-F, dan sejenisnya adalah pasti ditemukan di setiap hypermall.
Sebagai contoh, di Indonesia Carrefour tersebar di Jakarta (25 lokasi), Tangerang (5 lokasi), Bekasi (4 lokasi), Bandung (4 lokasi), Jawa – Bali (18 lokasi), Sumatera (2 lokasi), dan Sulawesi (3 lokasi). Jumlah ini merupakan jumlah yang cukup signifikan mengingat Carrefour termasuk debutan baru di kalangan “mall” di Indonesia. Group yang didirikan oleh keluarga Fournier and Defforey dari Perancis pada tahun 1959 ini kini berkembang pesat di seluruh penjuru dunia, dan CEO-nya kini dipegang oleh Lars Olofsson.

McDonald-ization
Fenomena restoran fast-food merupakan bentuk umum dari budaya massa ini. Perlu diingat, makanan adalah salah satu komponen fisik dari budaya. Restoran yang di Negara asalnya disebut sebagai “junk-food” (makanan sampah) ini, di Indonesia menemui sifat “high-class.” Hampir seluruh kalangan masyarakat (kaya, miskin, tua, muda) menemui pemenuhan kebutuhan sosial mereka di restoran fast-food McDonald ini. Termasuk ke dalamnya Kentucy Fried Chicken, Hoka-hoka Bento, Pizza Hut, dan sejenisnya.
Jika ditelusuri secara mendalam, penyebaran restoran-restoran fast-food ini di-stir oleh oleh satu perusahaan. Mereka menjalankan manipulasi public dengan menawarkan kelezatan, kecepatan, dan kenyamanan. McDonald adalah milik Ray Croc dan ia bangun pada tahun 1955. McDonald mengklaim memiliki 30.000 anjungan di seluruh dunia dan seharinya dikunjungi oleh 50.000.000 orang. Bidikan utamanya adalah penjualan produk makanan dan mereka memiliki sentra-sentra Negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan sibuk dalam keseharian mereka.
Homogenisasi budaya merupakan apa yang kemudian berkembang dari fenomena McDonald-ization ini. Hamburger, Coca Cola, Fanta, Walls Ice Cream, merupakan beberapa jenis makanan yang dijajakan di McDonald. Di 30.000 anjungan McDonald seluruh dunia, jenis-jenis makanan tersebut sama dijajakan dalam format dan rasa. Publik tidak dapat menentukan selera mereka tatkala memasuki MCDonald. Ini sama tatkala kita memasuki rumah makan Padang yang menyediakan ayam bakar, ayam goreng, ikan panggang, rendang, kikil, dan sejenisnya. Bedanya, McDonald bersifat sangat massal dengan dukungan strategi marketing dan dukungan financial yang agresif.



6. Manfaat belajar Filsafat kebudayan sebagai calon pemimpin!
- ingat definisi dari kebudayaan
- ingat kebudayaan local
- ingat iceberg of culture
- ingat globalisasi dan pengaruh2nya
- simpulkan, apa yang bisa kita lakukan dengan melihat fenomena ini dan setelah belajar filsafat budaya!






1 komentar:

  1. CASINO: Casino - JT Hub
    The Casino provides 남원 출장마사지 slot 양주 출장샵 machines 용인 출장안마 for entertainment across an 충청남도 출장샵 extensive range of 청주 출장마사지 gaming destinations, from slot machines to table games. Each game offers the chance to win

    BalasHapus